SUARAMALANG.COM, Denpasar – Tragedi kematian Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Udayana (Unud), membuka sisi gelap kehidupan kampus yang selama ini tersembunyi di balik jargon intelektualitas dan solidaritas mahasiswa. Di balik duka mendalam itu, publik justru dikejutkan oleh fakta bahwa pelaku tindakan nir-empati terhadap Timothy bukanlah mahasiswa biasa, melainkan para petinggi organisasi kampus—mereka yang seharusnya menjadi teladan dan pelindung bagi sesama mahasiswa.
Timothy ditemukan meninggal pada Rabu (15/10/2025) setelah melompat dari lantai dua gedung FISIP Unud. Peristiwa itu memicu kehebohan setelah beredar tangkapan layar percakapan grup WhatsApp yang berisi komentar menghina dan tidak berperasaan terhadap kematiannya. Salah satu komentar berbunyi, “Nanggung banget kok bunuh diri dari lantai 2 yak,” disusul tanggapan “Asli.” Kalimat lain bahkan menyebut soal biaya pengiriman jenazah: “Cargo sekarang mahal, baru dia main gila.”
Ironisnya, percakapan tersebut bukan berasal dari orang luar. Mereka adalah mahasiswa aktif yang menduduki posisi penting di organisasi kampus. Enam nama yang kini menjadi sorotan publik adalah:
-
Leonardo Jonathan Handika Putra, Wakil Ketua BEM Fakultas Kelautan dan Perikanan Unud angkatan 2022.
-
Maria Victoria Viyata Mayos, Kepala Departemen Eksternal Himapol FISIP Unud Kabinet Cakra angkatan 2023.
-
Muhammad Riyadh Alvitto Satriyaji Pratama, Kepala Departemen Kajian, Aksi, Strategis dan Pendidikan Himapol FISIP Unud.
-
Anak Agung Ngurah Nanda Budiadnyana, Wakil Kepala Departemen Minat dan Bakat Himapol FISIP Unud angkatan 2025.
-
Vito Simanungkalit, Wakil Kepala Departemen Eksternal Himapol FISIP Unud angkatan 2025.
-
Putu Ryan Abel Perdana Tirta, Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FISIP Unud angkatan 2023.
Sebagai figur publik kampus, mereka seharusnya menjadi role model bagi mahasiswa lain—mereka yang diamanahkan untuk menegakkan nilai-nilai moral, solidaritas, dan empati. Namun justru, mereka terjerumus dalam praktik yang mencederai kemanusiaan. Posisi sebagai “elit mahasiswa” tidak otomatis menumbuhkan kesadaran sosial. Status mereka di lembaga eksekutif kampus tidak mencegah perilaku yang seharusnya menjadi musuh bersama: perundungan dan ketidakpekaan terhadap sesama.
Reaksi keras pun datang dari civitas akademika. Rektor Unud, I Ketut Sudarsana, menegaskan kampus akan menindak tegas pelaku. “Kami menegaskan bahwa kampus harus menjadi ruang aman, berempati, dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Kampus akan menindak tegas segala bentuk pelanggaran yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan kehormatan akademik,” ujarnya.
Ketua Unit Komunikasi Publik Unud, Ni Nyoman Dewi Pascarani, menambahkan bahwa Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK) kini tengah mendalami kasus ini. “Satgas PPK kini mengambil alih kasus ini dan hasil penyelidikan akan diumumkan setelah pemeriksaan tuntas,” katanya.
Sebagai bentuk sanksi awal, FISIP Unud merekomendasikan nilai D untuk seluruh mata kuliah semester ini bagi keenam mahasiswa tersebut. Beberapa di antara mereka juga telah diberhentikan dari jabatan organisasi dan menyampaikan video permintaan maaf. “Saya sangat menyesal atas tindakan saya yang sangat tidak pantas terhadap almarhum Kak Timothy. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya terhadap keluarga dan pihak yang kecewa atas tindakan saya,” ujar Maria Victoria Viyata Mayos dalam video yang diunggah di media sosial.
Namun bagi publik, penyesalan itu terasa datang terlambat. Tragedi ini menjadi cermin bahwa kecerdasan akademik tidak selalu sejalan dengan kecerdasan empati. Gelar, jabatan, dan posisi organisasi bukan jaminan moralitas. Dalam ruang kampus yang seharusnya menjadi tempat belajar tentang nilai dan kemanusiaan, justru muncul perilaku yang menodai makna “mahasiswa” itu sendiri.
Duka atas kepergian Timothy kini menjelma menjadi pengingat kolektif: bullying di kampus bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan kegagalan sistemik yang mencerminkan krisis moral generasi intelektual muda. Kampus bukan tempat bagi mereka yang merasa berkuasa, melainkan rumah bagi mereka yang mau memahami arti kemanusiaan.