SUARAMALANG.COM, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menaikkan kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan kuota haji tambahan tahun 2024 ke tahap penyidikan. Lembaga antirasuah juga mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri demi kepentingan penyidikan. Mereka adalah eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, eks staf khusus Yaqut Ishfah Abidal Aziz, dan bos perusahaan travel haji Maktour, Fuad Hasan Masyhur yang juga merupakan mertua Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Dito Ariotedjo.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengungkapkan kasus ini ditaksir menimbulkan kerugian negara hingga Rp1 triliun. Penyidik juga tengah memetakan aliran dana yang mengalir ke sejumlah pihak di berbagai tingkatan.
“Nah, ini juga kemudian kami ketahui bahwa masing-masing tingkatan ini, masing-masing orang ini, ya kemudian mendapat bagiannya sendiri-sendiri,” ungkap Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (9/9/2025).
Lobi Travel Sebelum Kuota Resmi Ditetapkan
Menurut Asep, dugaan korupsi ini bermula dari lobi-lobi yang dilakukan asosiasi travel haji kepada pejabat di Kementerian Agama (Kemenag). Lobi tersebut dilakukan setelah muncul informasi bahwa Presiden Joko Widodo saat kunjungannya ke Arab Saudi berhasil memperoleh tambahan kuota haji sebesar 20.000 jemaah.
“Sebelum kuota itu ada, tapi baru informasi bahwa kunjungan Presiden ke Arab Saudi salah satunya untuk memperoleh tambahan kuota haji 20.000, kemudian mereka sudah melakukan lobi-lobi ini,” kata Asep.
Asep menjelaskan, tujuan utama lobi tersebut adalah memperbesar porsi kuota khusus yang memiliki biaya lebih tinggi dibanding kuota reguler.
“Ini untuk mengatur bagaimana caranya supaya kuotanya itu yang masuk kuota khusus menjadi lebih besar,” ujarnya.
SK Menteri Diduga Menyimpang dari UU Haji
Hasil lobi tersebut berujung pada penerbitan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama yang mengatur pembagian kuota tambahan menjadi 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus.
Padahal, Pasal 64 UU Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah mengatur pembagian yang seharusnya adalah 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.
“Seiring berjalannya waktu, maka terbitlah SK Menteri tersebut, di mana ini menyimpang dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018 Pasal 64 sehingga pembagiannya menjadi 50 persen,” tutur Asep.
Kuota tambahan yang sudah diatur dalam SK kemudian disalurkan ke asosiasi, lalu dibagikan lagi ke biro travel haji. Dugaan jual beli kuota dilakukan tidak secara langsung, melainkan melalui perantara dan jaringan staf khusus.
“Jadi melalui beberapa orang sebagai perantarannya seperti itu. Dan beberapa juga sudah kita minta keterangan, seperti di situ ada staf khusus dan lain-lain yang melibatkan orang-orang seperti itu,” ujar Asep.
Ia menegaskan, “Secara berjenjang, jadi tidak langsung dari travel agent itu ke pucuk pimpinan yang oknum di Kementerian Agama ini.”
Harga Kuota Mencapai Rp300-400 Juta per Jemaah
KPK juga menemukan praktik jual beli kuota haji khusus dengan harga fantastis, di mana calon jemaah ditawari keberangkatan instan di tahun yang sama dengan membayar lebih mahal.
“Biasanya yang ditawarkan kepada mereka sehingga harganya menjadi lebih tinggi, karena mereka ditawari bisa berangkat di tahun itu juga,” kata Asep.
Ia menambahkan, “Bahkan ada di kisaran antara Rp300 juta sampai Rp400 juta untuk satu kuota.”
Dalam skema normal, haji khusus juga memiliki antrean hingga dua tahun. Namun, kuota tambahan dimanipulasi agar dapat dipasarkan sebagai “jalur kilat” tanpa antrean panjang.
122 Jemaah Jadi Korban, Termasuk Ustaz Khalid Basalamah
Salah satu saksi yang sudah diperiksa KPK adalah pendakwah Ustaz Khalid Zeed Abdullah Basalamah. Ia mengaku sebagai korban, bukan pelaku, dalam kasus ini. Pemeriksaan berlangsung selama hampir delapan jam pada Selasa (9/9/2025).
“Saya kan sebagai jemaah di PT Muhibah, punyanya Ibnu Mas’ud tadi, jadi posisi kami ini korban dari PT Muhibah yang dimiliki oleh Ibnu Mas’ud,” kata Khalid.
Awalnya, Khalid dan rombongannya yang berjumlah 122 orang berencana berangkat haji melalui jalur furoda atau non-kuota pemerintah. Namun, mereka ditawari pindah ke jalur kuota khusus tambahan dengan janji bisa berangkat lebih cepat.
“Kami tadinya semua furoda, ditawarkanlah untuk pindah menggunakan visa ini, yaitu haji khusus,” ujar Khalid.
Ia menambahkan, “Kita sudah berangkat sebagai jemaah PT Muhibah.”
Klarifikasi Yaqut Cholil Qoumas
Eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas juga sudah diperiksa penyidik KPK pada 7 Agustus 2025. Ia menyatakan bersyukur dapat memberikan klarifikasi, tetapi menolak membeberkan materi pemeriksaan demi menghormati proses penyidikan.
“Alhamdulillah saya berterima kasih akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk mengklarifikasi segala hal, terutama yang terkait dengan pembagian kuota tambahan pada proses haji tahun 2024 yang lalu,” kata Yaqut.
Ia menegaskan, “Terkait dengan materi saya tidak akan menyampaikan ya, mohon maaf kawan-kawan wartawan.”
Dasar Hukum dan Ancaman Pidana
Berdasarkan Pasal 64 UU Nomor 8 Tahun 2018, pembagian kuota tambahan haji ditetapkan 92 persen untuk jemaah reguler dan 8 persen untuk jemaah haji khusus. Perubahan pembagian menjadi 50-50 yang dilakukan melalui SK Menteri Agama dinilai melanggar ketentuan hukum.
Jika dugaan korupsi ini terbukti, para pihak yang terlibat dapat dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001.
Ancaman hukuman maksimalnya adalah penjara seumur hidup dan denda hingga Rp1 miliar.
Kasus ini menyoroti lemahnya pengawasan dalam pengelolaan kuota haji tambahan di Indonesia. Dugaan penyimpangan yang merugikan negara hingga Rp1 triliun ini bukan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, tetapi juga merugikan jemaah yang berharap segera berangkat ke Tanah Suci. KPK menegaskan akan terus menelusuri aliran dana dan menetapkan tersangka setelah bukti-bukti dianggap cukup kuat.
Pewarta : Solikin/M.Nur*