SUARAMALANG.COM, Jakarta – Pemanfaatan jerami padi sebagai energi alternatif terus menempatkan Indonesia dalam diskusi global mengenai masa depan biofuel, terutama ketika sejumlah negara Asia mempercepat riset dan pengembangannya.
Peneliti dari BRIN, Prof. Rizal Alamsyah, menegaskan bahwa limbah pertanian seperti jerami padi memiliki potensi sangat besar untuk dikonversi menjadi bioetanol yang merupakan salah satu jenis bahan bakar terbarukan.
“Jerami padi (Rice straw) atau limbah pertanian/perkebunan lainnya seperti bongkol jagung, tandan kosong sawit, limbah biomassa pertanian/perkebunan, dan limbah organik rumah tangga memiliki potensi besar sebagai bahan baku bioetanol,” ujar Rizal dalam pernyataannya pada Kamis (20/11/2025).
Ia menyebutkan bahwa potensi tersebut muncul karena kandungan komponen kimia berupa selulosa, hemiselulosa, dan lignin dapat diolah menjadi etanol, yang menghasilkan emisi gas rumah kaca lebih rendah dibandingkan bahan bakar fosil.
“Produksi bioetanol dari jerami padi dapat menjadi solusi energi alternatif yang ramah lingkungan, karena menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih rendah dibandingkan bahan bakar fosil,” jelas Rizal.
Meski potensi besar telah diakui, Rizal menekankan bahwa produksi komersial bioetanol dari jerami padi masih berada pada tahap pengembangan global sehingga belum mencapai skala industri yang meluas.
Ia menambahkan bahwa jalur produksi bioetanol saat ini masih didominasi negara seperti Amerika Serikat dan Brasil yang menggunakan jagung dan tebu, sementara pemanfaatan jerami belum menjadi bahan baku utama.
“Meskipun negara-negara seperti Amerika Serikat dan Brasil memimpin produksi bioetanol global, bahan baku utama mereka masing-masing adalah jagung dan tebu, bukan jerami padi,” ungkap Rizal.
Rizal menjelaskan bahwa proses produksi bioetanol dari jerami berlangsung melalui serangkaian tahapan teknologi konvensional seperti pra-perlakuan, fermentasi, destilasi, hingga dehidrasi untuk menghasilkan bioetanol berkadar tinggi.
Ia menjabarkan bahwa tahap pra-perlakuan bertujuan memecah karbohidrat kompleks menjadi gula sederhana yang dapat difermentasi dengan berbagai metode kimia maupun biologis.
“Proses ini bertujuan untuk memecah karbohidrat kompleks menjadi gula sederhana yang bisa difermentasi, misal dengan hidrolisis (memecah dengan air), likuifikasi, dan sakarifikasi (mengubah pati menjadi gula), bisa juga dengan menggunakan jamur pelapuk,” kata Rizal.
Dalam penjelasannya, Rizal menyebut bahwa produksi bioetanol memerlukan tahap destilasi untuk memisahkan kandungan etanol dari campuran cairan.
“Distilasi bertujuan untuk memisahkan etanol berdasarkan perbedaan titik didihnya dengan air,” ujar Rizal.
Ia menambahkan bahwa proses dehidrasi dilakukan setelah distilasi agar kadar bioetanol mencapai level anhidrat yang dapat digunakan sebagai bahan bakar.
“Proses ini dilakukan untuk menghasilkan bioetanol dengan kadar yang sangat tinggi (bioetanol anhidrat) yang dapat digunakan sebagai bahan bakar, etanol hasil distilasi perlu mengalami proses dehidrasi lebih lanjut untuk menghilangkan sisa air,” jelas Rizal.
Rizal juga menegaskan bahwa metode alternatif seperti gasifikasi, likuefaksi biomassa, dan pirolisis sebenarnya bisa digunakan, meski membutuhkan energi proses lebih tinggi.
“Namun, cara atau metode proses tersebut agak rumit dan memerlukan energi proses yang lebih tinggi. Cara fermentasi banyak digunakan karena lebih efisien dan relatif tidak memerlukan energi proses yang tinggi,” ujarnya.
Selain tantangan teknis, Indonesia juga menghadapi persoalan kesiapan regulasi karena bioetanol dari jerami harus memenuhi standar mutu tertentu sebelum dapat diproduksi massal.
Rizal menyatakan bahwa proses verifikasi mutu melibatkan uji laboratorium hingga standar internasional seperti SNI, ASTM, dan JIS sebelum mendapatkan izin komersial.
“Produk akhirnya harus memperoleh izin komersialisasi dari kementerian terkait, seperti Kementerian ESDM, Perindustrian, atau Perdagangan,” tutur Rizal.
Melihat dinamika global, Indonesia dinilai memiliki peluang besar karena produksi jerami melimpah dan kebutuhan energi bersih semakin meningkat, sehingga terobosan teknologi menjadi kunci untuk mencapai komersialisasi bioetanol berbasis limbah pertanian.
