Iklan

330 Ribu Smart TV Rp8,58 Triliun Dibagikan ke Sekolah, ICW Sebut Rawan Korupsi

Iklan

SUARAMALANG.COM, Jakarta – Program digitalisasi pendidikan nasional kembali menjadi sorotan setelah pemerintah pusat menyalurkan 330 ribu unit smart TV atau interactive flat panel (IFP) ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia dengan nilai proyek mencapai Rp8,58 triliun.

Setiap unit smart TV dibanderol Rp26 juta dan direncanakan dibagikan ke semua sekolah, mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, baik negeri maupun swasta, tanpa terkecuali, sebelum akhir tahun 2025.

Iklan

Presiden Prabowo Subianto memberikan instruksi langsung agar program ini direalisasikan secepat mungkin untuk mendukung pembelajaran jarak jauh dan mengatasi kekurangan guru kompeten di daerah tertinggal.

Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Setya Budi Arijanta, menjelaskan bahwa smart TV ini dipesan dari perusahaan elektronik asal Tiongkok, Hisense, setelah melalui proses penunjukan kompetisi.

“Jadi, Rp26 juta per unit itu sudah termasuk ongkos kirim, sudah termasuk asuransi, dan sudah termasuk garansi,” kata Setya saat dikonfirmasi, Jumat (12/9/2025).

Smart TV yang dipilih pemerintah memiliki layar 75 inci dengan tipe 75WM61FE, menggunakan sistem operasi Android 13, memori 16 gigabyte, dan terintegrasi dengan akun Merdeka Mengajar, serta dilengkapi aplikasi pembelajaran untuk menunjang proses belajar mengajar.

Menurut Setya, pemerintah awalnya mengundang delapan perusahaan besar yang memiliki tingkat komponen dalam negeri (TKDN) di atas 25 persen untuk memberikan penawaran, namun hanya dua perusahaan yang bersedia mengajukan harga, yaitu Acer dan Hisense.

“Namun, dari dua perusahaan itu, Acer memilih mengundurkan diri karena tidak ingin menurunkan harga yang ditawarkan sebesar Rp40 juta per unit, akhirnya yang bersedia bernegosiasi hingga mencapai kesepakatan di angka Rp26 juta per unit adalah Hisense,” ujarnya.

Program ini dibiayai dari anggaran Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat.

Namun, distribusi smart TV ini memicu polemik setelah ditemukan perangkat juga diberikan kepada sekolah swasta elite dan sekolah internasional.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, membantah tudingan tersebut dan menegaskan tujuan program adalah pemerataan akses teknologi.

“Karena, program ini murni untuk pemerataan akses teknologi pendidikan, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu,” kata Abdul Mu’ti, Kamis (11/9/2025).

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti metode pengadaan program ini yang dilakukan tanpa tender terbuka dan hanya melalui penunjukan kompetisi.

Koordinator Badan Pekerja ICW, Wana Alamsyah, menyebut mekanisme tersebut sebagai modus klasik yang sering digunakan dalam penyelewengan anggaran negara.

“Sebab, menyerahkan proyek kepada perusahaan tunggal tanpa mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang ketat jelas membuka ruang penyalahgunaan dan konflik kepentingan,” ujar Wana dalam pernyataan tertulis, Jumat (12/9/2025).

ICW juga mempertanyakan mengapa hingga saat ini nama perusahaan penyedia belum diumumkan di portal pemantauan LKPP, padahal distribusi perangkat sudah berlangsung ke berbagai daerah.

“Jika perangkat sudah disalurkan, seharusnya proses pengadaannya sudah selesai dan dipublikasikan kepada publik,” kata Wana.

Dasar hukum pengadaan ini merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 yang merupakan perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Aturan tersebut memperbolehkan program prioritas pemerintah, seperti bantuan presiden, untuk dilaksanakan tanpa tender melalui penunjukan langsung.

Menurut Wana, regulasi ini membuka celah besar untuk praktik korupsi karena vendor akan berlomba menarik perhatian pejabat pelaksana proyek, sementara mekanisme pengawasan publik menjadi lemah.

“Karena, pengadaan seperti ini berpotensi dimenangkan oleh pihak tertentu yang memiliki kedekatan dengan penyelenggara negara,” ucapnya.

Jika ditemukan indikasi penyimpangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat melakukan penyelidikan berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama jika terbukti ada kerugian negara atau penunjukan langsung dilakukan tanpa alasan yang sah.

Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, juga menilai proyek ini sangat rawan korupsi.

“Jangan sampai, program ini menjadi seperti Chromebook jilid dua,” kata Iman, Jumat (15/8/2025).

Sebagai catatan, program pengadaan laptop Chromebook oleh Kemendikbudristek saat ini sedang diusut KPK karena dugaan mark-up dan penyalahgunaan anggaran.

Menanggapi kritik tersebut, LKPP menegaskan bahwa mekanisme yang digunakan bukan penunjukan langsung biasa, melainkan penunjukan kompetisi untuk mempercepat proses pengadaan.

“Karena, jika dilakukan tender terbuka, prosesnya akan memakan waktu berbulan-bulan, padahal ini adalah instruksi langsung Presiden yang harus segera terealisasi,” jelas Setya, Jumat (12/9/2025).

Meski demikian, hingga kini LKPP belum mempublikasikan kontrak dan daftar perusahaan pendukung proyek, sehingga publik tidak dapat memastikan apakah pelaksanaan program ini berjalan sesuai prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Jika program ini berhasil dijalankan dengan pengawasan ketat, pembelajaran digital di Indonesia bisa mengalami lompatan besar.

Namun, dengan nilai proyek yang sangat besar, yakni Rp8,58 triliun, risiko penyalahgunaan anggaran juga tinggi dan berpotensi menyeret program ini ke dalam kasus korupsi yang merugikan negara.

Pewarta : M.Nur

Iklan
Iklan
Iklan