SUARAMALANG.COM, Kabupaten Malang – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang disebut tak punya alasan hukum untuk tidak segera melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait perkara pemberhentian drg. Wiyanto Wijoyo sebagai Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes).
Menurut Bupati Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Kabupaten Malang, Wiwid Tuhu Prasetyanto, putusan kasasi MA bersifat final dan mengikat. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN jo. UU No. 51 Tahun 2009. Dengan status inkracht, tidak ada lagi upaya hukum lain yang bisa ditempuh.
“Konsekuensinya, Pemkab Malang wajib segera melaksanakan isi putusan, yaitu mencabut SK pemberhentian dan menerbitkan SK baru untuk merehabilitasi serta mengembalikan Wiyanto ke jabatan Kepala Dinas Kesehatan atau jabatan setara,” ujarnya.
Ia menilai alasan menunggu rekomendasi dari Tim Penilai Kinerja (TPK) maupun Badan Kepegawaian Negara (BKN) tidak relevan. Pasalnya, saat pemberhentian Wiyanto dulu, Pemkab juga tidak menunggu rekomendasi dari kedua lembaga tersebut.
“Lucu bila sekarang ketika harus tunduk pada hukum, Bupati justru berlindung di balik rekomendasi. Secara hukum, kewajiban melaksanakan putusan pengadilan melekat pada Bupati dan tidak bisa ditunda,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menyebut menunda pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sama saja dengan melanggar hukum. Pasal 116 UU PTUN memberikan mekanisme sanksi bagi pejabat yang lalai, berupa uang paksa (dwangsom) maupun sanksi administratif lain.
Bahkan, kelalaian itu juga dapat dijadikan dasar bagi pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi. Dari perspektif hukum kepegawaian, Putusan MA yang memenangkan Wiyanto berarti membatalkan SK pemberhentian yang dinilai melanggar hukum.
Konsekuensi logisnya adalah rehabilitasi menyeluruh, mencakup pemulihan hak jabatan, hak keuangan, dan hak reputasi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Dengan penundaan pengembalian jabatan, status kepegawaian Wiyanto menjadi tidak jelas dan tidak pasti.
“Ini jelas melanggar hak dasar ASN sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN,” jelasnya.
Ia juga menyoroti alasan Bupati Malang yang menunggu rekomendasi BKN sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang atau detournement de pouvoir. Menurutnya, rekomendasi BKN hanya bersifat administratif untuk sinkronisasi data nasional, dan bukan prasyarat untuk melaksanakan putusan pengadilan.
“Bupati seharusnya segera mencabut SK lama dan setidaknya menerbitkan SK sementara sebagai wujud itikad baik. Diam dan menunggu rekomendasi justru bentuk keengganan mematuhi putusan,” jelas Wiwid.
Sebagai langkah hukum, ia menilai Wiyanto dapat mengirimkan somasi resmi kepada Bupati Malang. Selain itu, permohonan ke PTUN untuk menjatuhkan sanksi uang paksa juga bisa diajukan sesuai Pasal 116 UU PTUN.
“Wiyanto bahkan bisa melapor ke Ombudsman RI, karena penundaan pelaksanaan putusan pengadilan merupakan bentuk maladministrasi oleh pejabat publik,” tambahnya.
Ia pun memberikan peringatan keras bahwa setiap upaya menunda kewajiban hukum akan berdampak pada sanksi yang merugikan Pemkab dan mencederai hak konstitusional Wiyanto.
“Putusan MA bukan untuk diperdebatkan lagi, melainkan untuk dilaksanakan. Semakin ditunda, semakin besar risiko hukum yang ditanggung Pemkab,” pungkasnya.
Pewarta : Kiswara