SUARAMALANG.COM, Jakarta – Konflik internal di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali mencuat setelah perbedaan pandangan mengenai investor tambang yang akan mengelola konsesi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) memicu ketegangan antara sejumlah elite organisasi.
Perselisihan ini mengemuka setelah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ulil Abshar Abdalla, menjelaskan adanya ketidakselarasan antara Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dan Sekretaris Jenderal PBNU Saifullah Yusuf (Gus Ipul) terkait pemilihan investor.
Dalam keterangannya, Ulil menegaskan bahwa perbedaan arah pilihan ini membuat hubungan keduanya tidak harmonis.
“Perbedaan pandangan antara Gus Yahya dan Gus Ipul inilah yang membuat hubungan ini jadi bermasalah kan,” ujar Ulil, Jumat (28/11/2025).
Inilah bagaimana peristiwa itu berlangsung dan berkembang menjadi konflik yang menjadi sorotan publik.
Menurut Ulil, pilihan investor menjadi pangkal persoalan karena konsesi tambang yang diberikan pemerintah kepada PBNU memerlukan kepastian arah politik dan dukungan nasional.
Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, terdapat investor tertentu yang mendapat mandat untuk mengelola tambang sehingga hubungan dengan PBNU sudah lebih dulu terjalin.
Namun, perubahan pemerintahan membuat arah kebijakan nasional juga berubah sehingga memunculkan pandangan baru tentang siapa investor yang dianggap sejalan dengan pemerintah saat ini.
Ketegangan semakin kuat ketika nilai konsesi tambang yang diberikan negara kepada PBNU mencapai luasan sekitar 26.000 hektare dengan nilai ekonomi ditaksir hingga ratusan triliun rupiah sehingga membuka peluang berbagai kepentingan untuk masuk.
Situasi ini diperparah oleh kabar adanya kesepakatan awal dari sejumlah pihak dengan calon operator tambang dari pihak BT yang disebut-sebut melibatkan aliran dana miliaran rupiah dan komitmen politik sebelum pemerintahan baru terbentuk.
Di tengah perubahan dinamika itu, Gus Yahya disebut mengambil langkah tegas dengan menyampaikan bahwa pengelolaan tambang harus selaras dengan restu Presiden Prabowo Subianto sebagai pemegang mandat tertinggi negara.
Sementara itu, Gus Ipul dinilai memilih mempertahankan investor lama yang sudah menjalin kerja sama sejak era pemerintahan sebelumnya.
Ketidaksinkronan ini kemudian memunculkan isu pengelolaan tambang sebagai sumber friksi yang menjalar hingga pada dugaan manuver internal, mulai dari pembentukan aliansi politik hingga kabar adanya tekanan eksternal.
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD bahkan menguatkan bahwa persoalan inti dari polemik ini memang berkaitan langsung dengan pengelolaan tambang antara dua kubu yang memiliki pilihan berbeda.
Di tengah memanasnya situasi, Katib Aam Syuriyah PBNU periode 2010–2015, KH Malik Madani, mengusulkan solusi dengan mengembalikan konsesi tambang kepada negara karena menilai kemudaratan yang muncul lebih besar dibandingkan manfaatnya bagi jam’iyyah.
Di saat bersamaan, sejumlah warga Nahdliyyin mulai menyuarakan keprihatinan karena konflik internal dinilai tidak mencerminkan tujuan besar organisasi yang sejak awal didirikan untuk kepentingan umat.
Harapan muncul agar PBNU kembali fokus pada agenda keumatan dan memperkuat peran sosial serta keagamaan tanpa terjebak dalam tarik-menarik kepentingan ekonomi dari pengelolaan sumber daya alam.





















