Iklan

Pengibaran Simbol GAM Dinilai Langgar Hukum dan Berpotensi Langgar HAM di Aceh

Iklan

SUARAMALANG.COM, Lhokseumawe – Penertiban aksi pengibaran bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Kota Lhokseumawe pada Kamis (25/12/2025) menegaskan kembali batas konstitusional antara kebebasan berekspresi dan kewenangan negara dalam mengatur simbol di ruang publik.

Aksi tersebut berlangsung di jalan nasional lintas Banda Aceh–Medan, tepatnya di Simpang Kandang, Desa Meunasah Mee, Kecamatan Muara Dua, yang merupakan jalur vital dengan intensitas lalu lintas tinggi.

Iklan

Kehadiran kelompok masyarakat yang membawa simbol GAM di tengah ruas jalan memicu intervensi aparat karena dinilai berpotensi mengganggu ketertiban umum serta keselamatan pengguna jalan.

Prajurit TNI Angkatan Darat dari Korem 011/Lilawangsa kemudian melakukan pengendalian situasi melalui pendekatan persuasif yang dipimpin langsung oleh Komandan Korem 011/Lilawangsa, Kolonel Inf Ali Imran.

Dalam proses tersebut, aparat mengamankan seorang pria yang diketahui membawa senjata api jenis pistol serta senjata tajam berupa rencong.

Kolonel Inf Ali Imran menyampaikan bahwa tindakan penertiban dilakukan untuk memastikan keamanan ruang publik serta mencegah eskalasi situasi yang dapat berdampak luas.

Pembubaran aksi dilakukan setelah dialog dan komunikasi intensif, sehingga spanduk dan kain umbul-umbul yang menyerupai bendera GAM akhirnya diserahkan secara sukarela oleh massa.

Penertiban ini terjadi di tengah diskursus publik mengenai penggunaan simbol daerah yang memiliki irisan sejarah konflik bersenjata di Aceh.

Secara normatif, bendera bulan bintang memang tercantum dalam Qanun Aceh Tahun 2013, namun hingga kini belum memperoleh pengesahan pemerintah pusat sebagai simbol resmi yang dapat dikibarkan di ruang publik nasional.

Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda, Letkol Inf Mustafa Kamal, menegaskan posisi hukum negara terhadap penggunaan simbol tersebut.

“Kalau bendera itu tidak legal. Secara undang-undang, tidak boleh menaikkan bendera selain Merah Putih.”

Pernyataan tersebut menempatkan intervensi aparat sebagai implementasi hukum positif, bukan sebagai pembatasan kebebasan sipil tanpa dasar regulasi.

Dalam perspektif hak asasi manusia, negara memiliki kewajiban menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan ketertiban umum.

Ekspresi simbolik yang dilakukan di ruang privat memiliki ruang toleransi berbeda dibandingkan aksi di jalur nasional yang berdampak langsung terhadap kepentingan publik.

Aksi pengibaran simbol GAM di tengah jalan nasional dinilai telah melampaui ranah ekspresi personal karena berpotensi memicu gangguan keamanan dan sensitivitas sosial pascaperdamaian Aceh.

Pendekatan persuasif yang ditempuh aparat menjadi penanda bahwa penegakan hukum tetap diarahkan untuk menjaga martabat masyarakat Aceh sekaligus menghormati nilai perdamaian yang telah disepakati.

Peristiwa ini sekaligus menjadi pengingat bahwa simbol-simbol konflik masa lalu memerlukan kehati-hatian dalam ekspresinya agar tidak membuka kembali luka sosial yang telah lama diupayakan untuk dipulihkan.

Iklan
Iklan
Iklan