SUARAMALANG.COM, Kota Malang–Selama bertahun-tahun, industri kreatif kerap ditempatkan di pinggir pembahasan ekonomi nasional. Sektor ini sering dipandang sebatas hiburan, urusan seni, atau aktivitas anak muda yang belum tentu menghasilkan.
Padahal, di tengah perlambatan ekonomi global dan ketergantungan pada komoditas tradisional, industri kreatif justru menunjukkan daya tahan dan kontribusi nyata bagi perekonomian Indonesia. Data pemerintah mencatat, ekonomi kreatif telah menyumbang sekitar Rp1.500 triliun terhadap Produk Domestik Bruto nasional. Angka tersebut terlalu besar untuk terus dianggap sekadar pelengkap.
Data tersebut disampaikan Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya dalam wawancara ANTARA On The Record. Kontribusi ekonomi kreatif tidak hanya besar, tetapi juga tumbuh hampir 100 persen dalam 12 tahun terakhir. Pertumbuhan ini mencerminkan satu hal penting: industri kreatif bukan sektor musiman, melainkan fondasi ekonomi baru yang terus menguat. Namun, pertumbuhan pesat ini belum sepenuhnya diiringi keseriusan kebijakan negara.
Dari total Rp1.500 triliun kontribusi tersebut, sekitar 70 persen berasal dari tujuh subsektor utama, yakni kuliner, fashion, kriya, film dan animasi, musik, gim, serta aplikasi digital. Sektor-sektor ini bukan pemain kecil. Film lokal mampu menembus jutaan penonton, musik Indonesia mulai merambah pasar global, gim buatan anak bangsa bersaing di platform internasional, sementara produk fashion dan kuliner lokal semakin kuat identitasnya. Industri kreatif telah menjadi mesin ekonomi riil yang menyerap tenaga kerja dan menciptakan nilai tambah tinggi.
Meski demikian, pelaku industri kreatif masih menghadapi persoalan klasik yang belum tuntas. Akses pembiayaan menjadi salah satu hambatan utama. Selama ini, sistem keuangan masih bertumpu pada jaminan fisik, sementara aset utama pelaku industri kreatif berada pada ide, karya, dan kekayaan intelektual. Di titik ini, pujian terhadap industri kreatif sering tidak sejalan dengan kebijakan yang benar-benar memudahkan pelaku usaha berkembang.
Perkembangan terbaru menunjukkan adanya upaya menjawab persoalan tersebut. Kementerian Ekonomi Kreatif mendorong percepatan pembiayaan berbasis kekayaan intelektual melalui skema Kredit Usaha Rakyat. Hak cipta, merek, dan IP mulai didorong untuk diakui sebagai dasar pembiayaan.
Langkah ini penting, mengingat jumlah pelaku industri kreatif telah mencapai 26,5 juta orang yang selama ini kesulitan mengakses modal karena tidak memiliki aset fisik. Namun, upaya ini belum sepenuhnya menjawab tantangan di lapangan. Minimnya pedoman teknis, keterbatasan kapasitas lembaga keuangan dalam menilai IP, serta lambannya harmonisasi regulasi membuat skema ini belum berjalan optimal.
Di sinilah persoalan mendasar industri kreatif Indonesia terlihat jelas. Negara mulai menyadari besarnya potensi industri kreatif, tetapi ekosistem pendukungnya masih tertinggal. Tanpa keberanian menjadikan kekayaan intelektual sebagai agunan utama, tanpa insentif yang konsisten, dan tanpa strategi ekspor kreatif yang terarah, industri kreatif akan terus bergerak dengan daya juang sendiri. Apresiasi memang penting, tetapi tidak cukup.
Industri kreatif tidak bisa terus diperlakukan sebagai etalase prestasi. Sektor ini membutuhkan kebijakan yang benar-benar berpihak, bukan sekadar narasi optimistis. Insentif pajak, pembiayaan berbasis kekayaan intelektual yang operasional, serta strategi ekspor kreatif harus menjadi bagian dari kebijakan ekonomi nasional, bukan hanya wacana sektoral. Jika keseriusan itu tidak segera diwujudkan, Indonesia berisiko kehilangan momentum emas di tengah persaingan global yang semakin ketat.
Pada akhirnya, pertanyaannya kembali ke titik awal. Jika industri kreatif sudah menyumbang ribuan triliun rupiah dan menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi nasional, masih pantaskah sektor ini diposisikan sebagai hiburan semata? Ataukah sudah waktunya negara benar-benar menempatkan industri kreatif sebagai penggerak ekonomi baru, dengan kebijakan yang sepadan dengan kontribusinya?
Penulis : Safira Diwani, Mahasiswa FISIP Ilkom Universitas Muhammadiyah Malang





















