Oleh
H.Andi Syafrani
Presiden LIRA (Lumbung lnformasi Rakyat)
Di penghujung Juli ini, sebuah keputusan politis dalam ranah hukum diciptakan oleh pemerintahan Prabowo. Usulannya selaku Presiden memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada para napi, termasuk Hasto Kristianto, sebagai hadiah kemerdekaan di momen 80 tahun NKRI disetujui DPR.
Banyak yang kaget dengan kejadian ini. Terutama karena putusan pengadilan terhadap dua tokoh tersebut baru saja diucapkan dan masih akan berlanjut ke tahap berikutnya di tingkat kedua pengadilan.
Bagi yang melihat putusan pengadilan terhadap dua sosok tersebut sebagai fakta ketidakadilan dan penyimpangan dari tujuan utama penegakan hukum, tindakan Presiden Prabowo merupakan obat pereda emosi dan pelepas dahaga ketandusan dunia hukum negeri ini.
Aspek yang kemudian menarik untuk didalami lebih lanjut adalah apa dampak etis dan politis dari obolisi dan amnesti ini secara personal dan kelembagaan?
Abolisi adalah hak khusus seorang presiden untuk menghentikan proses hukum dari seseorang yang terlibat perkara. Dengan mendapatkan ini, Tom Lembong, tidak hanya dianggap tidak bersalah, tapi bahkan proses hukumnya dianggap tidak pernah ada.
Pemberian abolisi biasanya dilakukan oleh presiden yang berbeda pada saat kasus yang dialami seseorang diproses. Di sini, abolisi Prabowo diberikan terhadap kasus yang dialami Tom Lembong sejak periode sebelum Prabowo berkuasa. Di sini, rasionalitas abolisi dipahami.
Hanya saja, jika dipahami bahwa Prabowo menjadi presiden atas kontribusi dan dukungan kuat dari Jokowi sebagai presiden sebelumnya, bahkan berpasangan dengan anak Jokowi sebagai wakilnya, apakah berarti pemberian abolisi ini merupakan deklarasi perpisahan antarkeduanya?
Pertanyaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa obolisi dapat dikatakan sebagai tindakan korektif politis terhadap proses hukum yang ada.
Selain itu, abolisi ini dapat dipandang sebagai tindakan evaluasi terhadap langkah Kejaksaan Agung yang membawa perkara inj ke meja hijau. Dengan demikian, apakah ini juga berarti Prabowo selaku pimpinan tertinggi pemerintahan tidak setuju dengan tindakan Jaksa Agung sebagai bawahannya dan mengapa pula Jaksa Agungnya masih dipertahankan?
Secara etis, persetujuan abolisi merupakan tamparan keras terhadap perilaku penegak hukum di bawah Kejaksaan dan juga para hakim di bawah Mahkamah Agung (MA) Abolisi yang disampaikan presiden pastinya telah melalui tahap konsultasi dengan pihak MA, karenanya apakah ini juga bagian dari koreksi dan peringatan dari MA kepada jajaran hakim yang memutus perkara Tom?
Penerimaan obolisi ini tentunya tidak hanya sebatas eforia politik hukum, tapi mestinya jadi momen evaluasi total terhadap etika hukum dan kelembagaan penegak hukum. Abolisi ini harus ditempatkan sebagai alarm serius koreksi total wajah penegakan hukum yang dilakukan oleh kepala negara. Jika tidak, momen abolisi ini hanya akan disempitkan menjadi langkah politik semata sebagai jalan keharmonisan elit, sebagaimana diungkapkan Menteri Hukum dan pimpinan DPR. Ini masih jauh dari tujuan utamanya sebagai sarana korektif dan evaluatif dan menyelesaikan “dendam politik” dengan hukum sebagai alat kekuasaan.
Objek yang dievaluasi di sini terutama adalah Jaksa Agung sebagai aparat yang melakukan tindakan hukum menyeret Tom Lembong sebagai pesakitan.
Berbeda halnya dengan amnesti yang diterima oleh Hasto. Dengan amnesti, tindakan Hasto tetap dianggap sebagai perbuatan melawan hukum namun diampuni secara politik.
Yang jadi persoalan di kasus Hasto adalah pihak yang menyeret ya dalam kasus hukum adalah KPK. Pemberian amnesti terhadapnya menyiratkan bahwa presiden pun tidak setuju dengan tindakan KPK dan pengadilan terhadap vonis Hasto. Uniknya, dan ini sama dengan kasus Tom, pemberian pembebasan terhadapnya masih dalam proses hukum, bukan setelah kasusnya berkekuatan hukum tetap.
Terlepas cara pandang berbagai kalangan menyikapi pemberian abolisi dan amnesti oleh Presiden Prabowo, momen ini harus jadi langkah dan kesempatan untuk mengevaluasi pengakan hukum dan mengembalikan ruh rule of law dan wajah negara hukum bangsa ini agar kemerdekaan di Agustus dapat diperingati bukan hanya secara simbolik, tapi dengan keyakinan bahwa keadilan dapat ditegakkan tanpa harus diintervensi oleh kekuasaan politik.