Akademisi UB Ungkap Penyebab Banjir Kota Malang, Tak Sekadar Bencana Alam

SUARAMALANG.COM, Kota Malang – Banjir yang melumpuhkan puluhan titik di Kota Malang pada Kamis (4/12/2025) kembali membuka pertanyaan besar, sampai kapan kota ini bertahan dengan pola pembangunan yang terus menutup ruang alamiah resapan air? Sebanyak 39 titik genangan tercatat bermunculan serempak, memperlihatkan bahwa persoalan banjir tidak lagi bisa dianggap sebagai “musim hujan rutin” belaka.

Di tengah kekhawatiran warga, analisis akademisi teknik pengairan dari Universitas Brawijaya (UB), Prof. Dr. Ir. Muhammad Bisri, M.S., IPU, justru menyoroti akar masalah yang selama bertahun-tahun luput dari perhatian, ledakan penduduk dan hilangnya ruang resapan air akibat pesatnya pembangunan.

Angka resmi penduduk Kota Malang memang hanya sekitar 850 ribu jiwa. Namun secara faktual, kota ini menampung populasi jauh lebih besar. Dengan 62 perguruan tinggi dan arus mahasiswa baru setiap tahun, jumlah penghuni riil diperkirakan telah menyentuh 1,2–1,5 juta jiwa.

“Penduduk bertambah, kebutuhan hunian ikut naik. Rumah, kantor, rumah sakit, kafe, semuanya tumbuh. Dan ketika itu terjadi, lahan-lahan resapan perlahan hilang,” ujarnya.

Efek dari pertumbuhan kota yang tak terkendali ini terasa pada parameter teknis hidrologi. Koefisien pengaliran (C) Kota Malang disebut hampir mendekati angka 1—posisi yang menunjukkan bahwa air hujan hampir tidak lagi meresap ke tanah, melainkan langsung berubah menjadi limpasan.

Motor warga terseret arus banjir di Jalan Letjen Sutoyo, Kota Malang, Kamis siang (4/12/2025). (Tangkapan layar kiriman warga)

Dalam teori teknik air, debit banjir dipengaruhi tiga faktor, yakni C (koefisien pengaliran), I (intensitas hujan), dan A (luas area). Dan ketika C mendekati angka maksimal, perubahan kecil pada intensitas hujan langsung memicu luapan besar. Dengan kata lain, Malang sedang menjadi kota yang permukaannya terlalu kedap untuk menahan air.

Prof. Bisri menekankan bahwa tanpa intervensi serius, kondisi ini akan terus berulang. Ia mengusulkan empat langkah yang harus segera dijalankan pemerintah kota.

Mengendalikan pertumbuhan penduduk, khususnya arus masuk ke wilayah inti kota, memperketat pengawasan alih fungsi lahan, agar ruang resapan tidak terus tergerus perumahan baru.

Kemudian menuntaskan masterplan drainase yang selama ini belum dieksekusi secara optimal serta menghidupkan kembali budaya kerja bakti, termasuk membersihkan saluran dan mencegah sampah masuk ke drainase.

“Angkat sampah ini perlu digalakkan lagi. Sebelum hujan parah, warga sebaiknya gotong royong membersihkan saluran. Minimal bisa mengurangi risiko,” ujarnya.

Sebagai solusi jangka panjang, Prof. Bisri juga tengah mengembangkan teknologi Saluran Drainase Berbasis Sumur Injeksi (SDBSI), sistem yang memungkinkan air hujan masuk kembali ke tanah tanpa melewati permukaan jalan.

“Nanti kalau itu bisa sukses, maka tidak ada air yang mengalir ke jalan raya,” tutupnya.

Exit mobile version