Tekno  

Bjorka Palsu Ditangkap, Bjorka Asli Balas dengan Bocorkan Data 341 Ribu Anggota Polri

SUARAMALANG.COM, Jakarta – Drama penangkapan hacker “Bjorka” kembali mencuat. Namun alih-alih menuntaskan kasus yang sudah menahun, langkah aparat justru memantik babak baru yang lebih mengkhawatirkan. Sebab tak lama setelah Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya mengumumkan penangkapan sosok berinisial WFT asal Minahasa, hacker yang mengaku sebagai Bjorka “asli” muncul dengan serangan balasan yang mengguncang: membocorkan 341 ribu data pribadi anggota Polri.

Publik dikejutkan oleh unggahan di platform peretas yang berisi file berukuran sekitar 9 MB (40 MB setelah diekstrak) berjudul “341K Indonesian National Police Personnel Database”. Dalam keterangan unggahannya, Bjorka menulis, “Since the police in Indonesia allege that they have arrested me, I have decided to disclose this data as a surprise for them.” Ia menegaskan, sosok yang ditangkap hanyalah orang yang menggunakan namanya. “You can only catch me in your dreams,” tulisnya sinis.

Data yang dipublikasikan mencakup nama lengkap, pangkat, unit kerja, alamat email, hingga nomor telepon pribadi anggota Polri. Dari 341 ribu data, sekitar 1.500 nomor dibuka sebagai sampel. Dari hasil temuan yang beredar di berbagai postingan media sosial, banyak pengguna melakukan pengecekan terhadap 1.500 data sampel tersebut. Mereka kemudian memposting hasil temuannya yang menunjukkan bahwa nomor-nomor itu benar-benar valid berdasarkan hasil pencarian di aplikasi GetContact. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa kebocoran tersebut bukan rekayasa belaka.

Polda Metro Jaya tak tinggal diam. Kasubbid Penmas AKBP Reonald Simanjuntak menyebut pihaknya sedang mendalami dugaan kebocoran itu. “Saya baru dengar. Saya cek dahulu, kami dalami,” ujarnya singkat di Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025). Namun hingga kini belum ada kepastian apakah data tersebut memang berasal dari sistem internal kepolisian atau sumber lain yang telah lama bocor.

Kebocoran ini muncul hanya beberapa hari setelah polisi mengumumkan penangkapan WFT, pemuda berusia 22 tahun yang disebut sebagai Bjorka. Dalam konferensi pers 2 Oktober lalu, Wadirresiber AKBP Fian Yunus menjelaskan bahwa WFT dituduh melakukan akses ilegal dan manipulasi data dengan mengaku sebagai @bjorkanesiaaa di platform X. Ia diduga memposting data salah satu nasabah bank swasta dan mengklaim meretas 4,9 juta akun BCA Mobile. Polisi menjeratnya dengan UU ITE dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara dan denda Rp12 miliar.

Namun publik meragukan klaim tersebut. Tak lama setelah penangkapan diumumkan, akun @bjorkanism di Instagram muncul dengan pesan singkat: “You think it’s me? Everyone uses my name, but you don’t realize I’m still FREE.” Unggahan itu mempertegas bahwa sosok di balik serangan siber 2022–2024 tampaknya masih aktif dan bebas. Sebagai “pembuktian”, ia pun merilis data internal Polri—sesuatu yang sulit dilakukan oleh pelaku acak atau peniru.

Sejak kemunculannya pada 2022, Bjorka telah menorehkan jejak panjang: kebocoran data pelanggan IndiHome, registrasi kartu SIM, data KPU, dokumen Presiden dan BIN, hingga data paspor dan NPWP pejabat negara. Pola yang muncul selalu sama—setiap kali aparat mengklaim telah melacak atau menutup aksesnya, Bjorka merespons dengan kebocoran baru yang lebih besar.

Kali ini, targetnya justru aparat sendiri. Jika data 341 ribu anggota Polri benar-benar valid, maka implikasinya serius: seluruh rantai komunikasi internal, keamanan individu personel, bahkan operasi kepolisian bisa terancam. Setiap nomor dan email yang bocor berpotensi digunakan untuk serangan phishing, penyadapan, atau manipulasi data lanjutan. Artinya, yang diserang bukan sekadar sistem, tapi kepercayaan publik terhadap kemampuan negara melindungi datanya sendiri.

Publik kini dihadapkan pada dua kenyataan pahit: bahwa mungkin Bjorka yang ditangkap hanyalah “Bjorka palsu”, dan bahwa Bjorka asli—entah individu tunggal atau kelompok—masih bebas berkeliaran dengan akses luar biasa. Sementara itu, ribuan anggota kepolisian kini harus menghadapi risiko baru akibat kebocoran data yang mencuat dari tangan pihak yang seharusnya tak pernah bisa menembus sistem mereka.

Fenomena ini bukan sekadar perang siber, tapi juga krisis kepercayaan. Selama pemerintah belum mampu memastikan keamanan data dan akuntabilitas digitalnya, sosok seperti Bjorka akan selalu punya ruang untuk menertawakan sistem—dan mungkin, menguasainya.

Pewarta : *M.Nan/Sol

Exit mobile version