Bukan Sekadar Nama: Menelusuri Jejak Gelar “Gus” dan Kontroversi Samsudin

Suaramalang – Sebutan ‘Gus’ yang disematkan pada nama Samsudin ramai dibicarakan masyarakat.

Seperti diketahui, gelar ‘Gus’ biasa dijadikan panggilan kepada kiai dan ulama.

Melalui tayangan YouTube Curhat Bang Denny Sumargo, Gus Samsudin menuturkan, dirinya menjadi pemulung saat keluar dari Pondok Condro Mowo, Jawa Timur.

“Saya lakukan semampu saya, misalnya kalau ada yang kesurupan, orang itu sembuh dan dilihat banyak orang, sehingga banyak yang menganggap saya ajaib dan orang-orang mulai mendatangi saya,” kata Gus Samsudin.

Sejak saat itu orang-orang memanggilnya Gus, padahal ia bukan seorang kiai atau ulama.

Ia bercanda, Gus adalah kata ‘cah baik’, istilah khusus dalam bahasa Jawa.

“Iya, kalau orang Jawa menyebutnya begitu, senangnya ada yang bisa mengabdi pada masyarakat,” jelasnya.

“Iya, saya tidak masalah mau dipanggil apa, hanya tergantung orang yang memanggil,” tutupnya.

Asal Usul Gelar Gus

Gus digunakan sebagai panggilan kepada ulama, kiai, atau orang-orang yang dihormati dalam dunia keagamaan.

Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tidak lazim jika diberi gelar ‘Gus’ begitu saja.

Gelar ini sering diberikan kepada anak-anak kiai sejak mereka dilahirkan, namun berbeda dengan panggilan pada umumnya, gelar ‘Gus’ harus berakhlak mulia dan religius.

Artinya, seseorang yang bergelar ‘Gus’ harus memiliki garis keturunan yang jelas dari tokoh agama Islam yang mempunyai kapasitas keilmuan mumpuni.

Meski penggunaan gelar ‘Gus’ semakin umum akhir-akhir ini, beberapa tokoh kiai berpendapat bahwa gelar tersebut harus diakui berdasarkan ilmu dan ketakwaan seseorang.

Oleh karena itu, penggunaan gelar tersebut dimaknai sebagai bentuk penghormatan terhadap tokoh-tokoh yang dekat dengan tradisi pesantren.

Seiring berjalannya waktu, tradisi pemanggilan ‘Gus’ bisa diubah menjadi ‘Mas’.