Iklan

Bukti Mutu atau Bukti Setoran? Mengupas Korupsi di Balik Sertifikasi Profesi dan Usaha

Iklan

SUARAMALANG.COM, Jakarta – Sertifikasi, yang seharusnya menjadi pintu gerbang profesionalisme dan jaminan kualitas, kerap disusupi praktik-praktik kotor. Dari ruang kelas guru hingga kantor kementerian, kasus-kasus korupsi membuktikan bahwa sertifikasi di Indonesia masih menjadi ladang empuk bagi oknum yang haus keuntungan.

Sertifikasi Profesi: Guru dan Pendidikan Jadi Sasaran

Sertifikasi profesi mestinya memvalidasi kemampuan tenaga kerja. Namun, celah birokrasi justru membuka peluang pungli. Contohnya, kasus pungutan liar pada program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Kabupaten Magelang yang mencuat pada 2024. Polisi menetapkan empat tersangka terkait pemerasan guru honorer yang ingin mempercepat sertifikasi. Bukti tunai sekitar Rp1,16 miliar disita dari para pelaku. Praktik ini tak hanya merugikan guru, tetapi juga memperlemah kualitas tenaga pendidik yang seharusnya lahir dari proses bersih dan kredibel.

Iklan

Sertifikasi Usaha: Pariwisata dan LSP Bermasalah

Tak hanya profesi, sektor usaha pun tak luput dari masalah. Oktober 2024, kasus penyimpangan dana sertifikasi kompetensi kerja di sektor pariwisata Bali mengguncang. Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pariwisata Bali Indonesia dan pihak-pihak terkait di Disnaker terseret dalam kasus ini. Dugaan kerugian negara mencapai Rp3,88 miliar, melibatkan tokoh seperti Siska Suzana Darmawan (Direktur LSP-PBI) dan Sumarna Fathulbari Abdurahman (eks Ketua BNSP). Program yang seharusnya meningkatkan daya saing tenaga kerja malah menjadi sarana memperkaya oknum.

Sertifikasi Lahan dan Bangunan: Pungli yang Meresahkan

Di sektor agraria, praktik curang juga marak. Laporan dugaan pungutan liar dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) menyeruak di beberapa daerah pada 2024–2025, seperti di Mojokerto. Warga mengeluhkan biaya di atas ketentuan, berkisar ratusan ribu hingga jutaan rupiah per sertifikat. Bahkan, ada kasus pemalsuan sertifikat tanah oleh biro jasa nakal yang menjerat korban secara finansial. Situasi ini menggerus kepercayaan masyarakat pada sistem pertanahan yang semestinya memberi kepastian hukum.

Sertifikasi Produk: Label Keamanan Jadi Komoditas

Produk yang beredar di pasar seharusnya terjamin mutunya. Namun, kasus pemerasan oleh oknum mantan pegawai BPOM pada 2024–2025 menampar kredibilitas lembaga. Sang tersangka diduga memeras pengusaha untuk meloloskan izin edar produk dengan nilai yang disebut mencapai Rp3,49 miliar. Ketika izin edar bisa “dibeli”, konsumen pun jadi korban dari praktik yang mengancam keselamatan publik.

Skandal Terbesar: Sertifikasi K3 di Kementerian Ketenagakerjaan

Puncak sorotan terjadi pada Agustus 2025 ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap skema pemerasan dalam proses Sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan. OTT pada 20–22 Agustus menetapkan 11 tersangka, termasuk pejabat tinggi seperti Wakil Menteri Immanuel Ebenezer, yang dikenal publik sebagai Noel.

Tarif resmi Rp275 ribu untuk satu sertifikat diduga dibengkakkan hingga Rp6 juta. Dana haram yang dihimpun sejak 2019 ditaksir mencapai Rp81 miliar, dengan aliran terbesar sekitar Rp69 miliar mengalir ke salah satu pejabat bernama Irvian Bobby. Modusnya sistematis: pemohon didorong menggunakan “jalur cepat” dengan setoran rutin, sementara pihak internal memanfaatkan kelemahan pengawasan.

Kasus ini bukan hanya soal uang. Sertifikasi K3 adalah kunci keselamatan pekerja di lapangan, mulai dari konstruksi hingga pabrik. Jika sertifikat bisa dibeli, standar keselamatan berubah menjadi ilusi. Risiko kecelakaan kerja membesar, dan nyawa pekerja jadi taruhan.

Mengapa Sertifikasi Begitu Rawan?

Faktor utamanya: birokrasi berbelit, informasi asimetris, dan lemahnya pengawasan. Ketika pemohon tak paham prosedur dan oknum punya kuasa, “jalan pintas” jadi barang dagangan. Sistem manual dan tatap muka juga memberi ruang transaksi gelap. Tanpa transparansi biaya dan proses, sertifikat pun menjadi komoditas, bukan bukti kompetensi.

Perbaikan yang Mendesak

Untuk memutus rantai korupsi, langkah berikut penting:

  • Digitalisasi penuh: semua pengajuan dan pembayaran dilakukan daring dengan jejak transaksi jelas.
  • Transparansi tarif dan SOP: tarif resmi dipublikasikan dan mudah diakses.
  • Pengawasan eksternal: melibatkan KPK, Ombudsman, dan media.
  • Perlindungan pelapor: whistleblower harus dilindungi dan diberi ruang melapor.
  • Audit rutin: lembaga sertifikasi harus diaudit dan menerapkan sistem manajemen anti-penyuapan (misal SNI 37001).

Tabel Fakta dan Kronologi Kasus Sertifikasi

Jenis SertifikasiLokasi/LembagaTanggalNilai KorupsiTersangka
Profesi (PPG)Dinas Pendidikan Magelang2024Rp1,16 miliar4 orang
Usaha (LSP Pariwisata)LSP-PBI, BNSP, BaliOkt 2024Rp3,88 miliar2 orang + pejabat terkait
Lahan (PTSL/pemalsuan)Mojokerto & daerah lain2024–2025Ratusan ribu–Rp1 juta per sertifikatOknum desa & biro jasa
Produk (BPOM)BPOM pusat & daerah2024–2025Rp3,49 miliarMantan pegawai BPOM
K3 (Keselamatan Kerja)Kementerian KetenagakerjaanAgs 2025Rp81 miliar11 orang (termasuk Wakil Menteri)

Kasus-kasus di atas menunjukkan satu hal: sertifikasi di Indonesia masih mudah disusupi kepentingan sempit. Dari guru, pengusaha, petani, hingga buruh pabrik, dari tanah hingga obat, semua bisa diperdagangkan jika pengawasan lemah. Padahal, sertifikasi seharusnya menjadi bukti mutu dan keamanan, bukan sekadar tanda lunas uang pelicin. Skandal K3 di Kemnaker menjadi alarm keras: ketika sertifikasi dijadikan komoditas, yang dikorbankan adalah kualitas dan keselamatan publik.

Pewarta : M.Nur

Iklan
Iklan
Iklan