SUARAMALANG.COM, Kota Malang – Sengketa tanah seluas 4.578 meter persegi peninggalan almarhumah Hartini yang sedang disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Malang mengungkap cerita yang lebih rumit dari sekadar sengketa kepemilikan. Perkara perdata bernomor register 158/Pdt.G/2025/PN.Mlg ini menyisakan dugaan kuat penggelapan uang ratusan juta rupiah dan pelanggaran etik profesi advokat yang melibatkan kuasa hukum yang justru beralih pihak .
Dugaan Penggelapan Rp400 Juta dan Akta Perdamaian Bermasalah
Kasus ini berakar pada transaksi jual-beli tahun 2016 antara Hartini dan Muhammad M.M. yang gagal. Meski transaksi telah dibatalkan secara resmi pada 2017, Muhammad M.M. diduga tetap menjual tanah tersebut ke pihak ketiga, memicu sengketa berlarut .
Sebagai bentuk iktikad baik, almarhumah Hartini melalui kuasa hukumnya saat itu, Abdul Aziz SH dari Firma Hukum Progresif Law, mengembalikan uang pembelian sebesar Rp400 juta secara bertahap selama periode 2021-2022. Namun, menurut kuasa hukum ahli waris Hartini yang baru, Wiwid Tuhu P., uang sebesar itu tidak pernah sampai kepada pihak pembeli .
“Uang ratusan juta yang diberikan almarhumah untuk menyelesaikan sengketa itu tidak pernah disalurkan. Sampai hari ini kami menagih pertanggungjawaban itu,” tegas Wiwid dalam keterangan resminya .
Pasca wafatnya Hartini, dibuatlah Akta Perdamaian No. 12/2022 oleh Notaris Hoo Go Huk, yang melibatkan Sunardi (suami almarhumah) sebagai ahli waris. Wiwid menilai akta ini justru merugikan kliennya. “Akta perdamaian itu bukan menyelesaikan masalah, justru memaksa Pak Sunardi menyetujui penjualan tanah oleh pihak yang sudah tidak memiliki hak lagi karena transaksi sebelumnya sudah dibatalkan,” tandasnya .
Pembelaan Pihak Pembeli dan Laporan Pidana
Di sisi lain, kuasa hukum Muhammad M.M., Maskur SH MH, membantah kliennya melakukan kesalahan. Ia menyatakan kliennya telah melunasi pembayaran tanah senilai Rp 1,6 miliar dan berhak atas tanah tersebut.
“Klien kami sudah melunasi. Karena itu klien kami berhak atas dua sertifikat tanah yang telah disepakati dalam transaksi,” ujar Maskur . Ia menuduh pihak penjual yang ingkar janji dan menyembunyikan sertifikat asli. Kliennya bahkan telah melaporkan pihak ahli waris Hartini ke kepolisian dengan dugaan penggelapan yang menyebabkan kerugian ditaksir mencapai Rp 9 miliar .
Konflik Etik Advokat yang Menjadi Sorotan
Kompleksitas kasus ini semakin menjadi dengan terungkapnya dugaan pelanggaran kode etik advokat oleh kuasa hukum awal, Abdul Aziz. Terungkap dalam persidangan bahwa Abdul Aziz baru resmi dilantik sebagai advokat pada 27 September 2022, padahal ia telah mendampingi Hartini dan menerima pembayaran sebagai kuasa hukum sejak tahun 2020 .
Yang lebih mengejutkan, Abdul Aziz diduga beralih pihak dari mewakili keluarga Hartini/Sunardi menjadi membela kepentingan Muhammad M.M. dalam sengketa yang sama. Atas dugaan pelanggaran ini, Abdul Aziz telah dilaporkan ke Dewan Etik Peradi Malang .
Saat dikonfirmasi di PN Malang, Abdul Aziz memilih untuk enggan berkomentar. Sementara itu, kuasa hukum Muhammad M.M., Maskur, membelanya dengan pernyataan bahwa Abdul Aziz hanya bertindak sebagai mediator dalam perkara ini .
Proses Hukum dan Gugatan yang Dajukan
Dalam gugatannya, Sunardi selaku ahli waris tidak hanya menempatkan Muhammad M.M. sebagai Tergugat, tetapi juga menarik Abdul Aziz sebagai Tergugat Vrijwaring (pihak ketiga yang dipertanggungjawabkan), dan Notaris Hoo Go Huk sebagai Turut Tergugat atas pembuatan Akta Perdamaian No. 12/2022 .
Perkara ini masih berlanjut di PN Malang. Masyarakat dan para pihak menantikan putusan majelis hakim yang diharapkan dapat mengungkap kebenaran faktual sekaligus menegakkan etika profesi di dunia hukum
