SUARAMALANG.COM, Jakarta – Fenomena “rojali” alias rombongan jarang beli dan “rohana” atau rombongan hanya nanya kini mewarnai dinamika pusat perbelanjaan di Indonesia.
Pengunjung ramai datang ke mal hanya untuk jalan-jalan, bertanya harga, hingga sekadar menikmati suasana tanpa melakukan transaksi pembelian.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, menyebut perilaku semacam ini adalah hal yang lumrah di pusat perbelanjaan konvensional yang masih mengandalkan interaksi langsung antar manusia.
“Saya kira itu umum, hal-hal yang wajar lah begitu,” ujar Alphonzus di Pusat Grosir Cililitan (PGC), Jakarta, Rabu (23/7/2025).
Menurut Alphonzus, pusat perbelanjaan tidak hanya berfungsi sebagai tempat jual beli, tetapi juga sebagai pusat hiburan dan edukasi masyarakat.
“Fungsi pusat belanja bukan cuma sekadar belanja, ada faktor edukasi, ada faktor entertainment-nya,” jelasnya.
Namun demikian, ia tidak menampik bahwa keberadaan rojali dan rohana berdampak pada penurunan omzet ritel, khususnya di kalangan tenant.
Alphonzus menyebut masyarakat kini lebih selektif dalam berbelanja, cenderung memilih produk dengan harga satuan yang murah.
“Pasti (ada penurunan omzet), karena masyarakat kelas menengah bawah cenderung beli produk yang harganya satuannya murah,” ungkapnya.
APPBI memperkirakan pertumbuhan pusat perbelanjaan di tahun 2025 tetap berada di jalur positif, namun hanya menyentuh angka satu digit atau kurang dari 10 persen.
Target awal pertumbuhan omzet sebesar 20–30 persen diprediksi sulit tercapai dalam kondisi saat ini.
“Target kita sebenarnya 20–30%,” ujarnya.
Sementara itu, fenomena rojali tidak banyak berpengaruh terhadap kinerja minimarket seperti Indomaret yang lebih dekat dengan konsumen dan memiliki karakter pembeli yang berbeda.
Direktur PT Indomarco Prismatama, Wiwiek Yusuf, menyebut konsumen Indomaret datang memang untuk belanja, bukan sekadar jalan-jalan atau berteduh dari panas.
“Kalau ke mal mungkin mereka ngadem, istilahnya kalau dalam bahasa Jawanya ya. Tapi kalau ke Indomaret, mereka biasanya berbelanja,” ucap Wiwiek.
CEO Indomaret, Sinarman Jonatan, menilai industri ritel memiliki tantangan tersendiri karena sifatnya yang sangat dinamis dan tidak pasti.
“Industri retail ini sangat dinamis, sangat tidak menentu karena masalah-masalah yang sangat kompleks sifatnya,” tegasnya.
Menurut Sinarman, adaptasi dan inovasi menjadi kunci agar bisnis ritel tetap bertahan di tengah perubahan perilaku konsumen.
“Kelihatannya sangat menarik, tapi banyak yang harus dilakukan,” tambahnya.
Di sisi lain, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, melihat sisi positif dari fenomena rojali terhadap sektor minuman dan makanan (F&B).
Ia mengklaim omzet sektor F&B justru meningkat 5–10 persen karena pengunjung mal tetap membeli makanan atau minuman saat nongkrong.
“Karena nongkrong pasti lihat minuman makanan beli. Kan enggak mungkin duduk enggak beli,” kata Budihardjo dalam peringatan Hari Retail Modern Indonesia di Jakarta.
Direktur Bina Usaha Perdagangan Kementerian Perdagangan, Septo Soepriyatno, menyebut fenomena ini sudah muncul sejak pandemi COVID-19 akibat perubahan besar dalam perilaku masyarakat.
Setelah terbiasa tinggal di rumah, masyarakat kini mencari ruang untuk kembali bersosialisasi dan berinteraksi di ruang publik.
Septo menyatakan konsep pusat perbelanjaan pun berevolusi, kini lebih mirip ruang rekreasi dan pengalaman sosial dibanding sekadar tempat belanja.
“Mal kini menjadi ruang rekreasi, hiburan, pengalaman, dan interaksi sosial,” jelasnya.
Sebagai contoh transformasi, Plaza Semanggi telah beralih konsep menjadi Plaza Nusantara dengan menyesuaikan kebutuhan masyarakat modern.
Tak hanya itu, banyak pengunjung memanfaatkan toko fisik sebagai tempat showrooming—melihat langsung produk sebelum akhirnya membeli secara daring.
Septo menyebut para pelaku usaha pun kini mengadopsi sistem omnichannel untuk melayani konsumen melalui kanal offline dan online secara bersamaan.
“Sebenarnya secara keseluruhan, omset pedagang naik. Tetapi memang ada pergeseran, ada yang (menjual) online,” tegasnya.
Fenomena rojali dan rohana merefleksikan pergeseran tren belanja masyarakat sekaligus memaksa pelaku ritel untuk menyesuaikan diri dengan lanskap pasar yang semakin kompleks dan kompetitif.
Pusat perbelanjaan pun harus berevolusi menjadi lebih dari sekadar tempat transaksi, melainkan destinasi pengalaman yang berkesan.
Pewarta : M.Nur