SUARAMALANG.COM, Aceh Utara – Ketegangan antara aparat keamanan dan warga pengantar bantuan bencana terjadi di Krueng Mane, Aceh Utara, pada malam peringatan Natal 2025.
Peristiwa tersebut melibatkan aparat gabungan TNI dan Polri dengan warga yang mengantar bantuan bagi korban banjir.
Insiden berlangsung pada Kamis malam, 25 Desember 2025, dan berujung bentrokan yang menyebabkan sejumlah warga mengalami luka-luka.
Bentrokan bermula sekitar pukul 18.30 WIB ketika aparat menghentikan truk bantuan satu per satu untuk melakukan pemeriksaan muatan dan atribut.
Situasi semakin memanas hingga sekitar pukul 21.00 WIB dan berujung pada kericuhan fisik di sekitar lokasi pemeriksaan.
Dalam insiden tersebut, lima warga dilaporkan mengalami luka, beberapa di antaranya akibat pukulan menggunakan popor senjata.
Salah satu korban adalah Hermansyah, warga Desa Alue Kuta, yang mengaku mengalami pemukulan di bagian kepala hingga mengeluarkan darah.
“Saya berangkat untuk mengantar bantuan bagi korban banjir, tapi saat tiba di jembatan, aparat menghentikan truk dan memeriksa barang bawaan. Meski saya tidak membawa bendera bulan bintang, saya tetap dipukul,” ungkap Hermansyah, Kamis (25/12/2025).
Korban kemudian dilarikan ke Puskesmas Krueng Mane untuk mendapatkan penanganan medis.
Tenaga medis Puskesmas Krueng Mane, Dr. Arina, memastikan bahwa dua pasien mengalami luka di bagian kepala akibat insiden tersebut.
Selain melakukan pemeriksaan kendaraan, aparat juga menyita bendera bergambar bulan dan bintang yang dibawa dalam konvoi bantuan.
Bendera bulan bintang diketahui telah diatur dalam Qanun Aceh Tahun 2013, namun hingga kini belum mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah pusat.
Aparat keamanan menilai simbol tersebut identik dengan Gerakan Aceh Merdeka dan berpotensi memicu gangguan keamanan.
Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda, Letkol Inf T. Mustafa Kamal, menegaskan bahwa pengibaran bendera tersebut tidak dibenarkan secara hukum dan dilarang dalam peraturan perundang-undangan.
Sebelumnya, aparat juga membubarkan konvoi bantuan yang mengibarkan bendera serupa di sejumlah titik, termasuk Jalan Nasional Banda Aceh–Medan dan wilayah Kota Lhokseumawe.
Di sisi lain, Komite Peralihan Aceh Wilayah Kuta Pase menilai pengibaran bendera tersebut sebagai bentuk ekspresi kekecewaan warga terhadap lambannya respons pemerintah pusat dalam menangani dampak banjir.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansah menilai kemunculan simbol GAM di ruang publik tidak dapat dipisahkan dari konteks historis konflik Aceh.
Ia menegaskan bahwa pengibaran simbol GAM berpotensi mencederai komitmen perdamaian Aceh yang telah dibangun pascakonflik.
Trubus juga menilai pendekatan persuasif aparat dalam pembubaran aksi di Lhokseumawe menjadi penting untuk menjaga stabilitas sosial.
Menurutnya, perdamaian Aceh merupakan tanggung jawab bersama yang harus dijaga oleh negara dan masyarakat.
