SUARAMALANG.COM, Jakarta – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) memasuki fase penting setelah pemerintah berhasil mempercepat penyaluran anggaran sejak pertengahan 2025. Namun, di balik pencapaian tersebut, distribusi penerima bantuan menunjukkan ketimpangan signifikan dengan dominasi Pulau Jawa yang jauh lebih besar dibandingkan daerah lainnya.
Kementerian Keuangan mencatat, hingga September 2025 realisasi anggaran MBG telah mencapai Rp20 triliun. Dana ini disalurkan melalui 13 ribu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) kepada sekitar 30 juta penerima. Angka tersebut setara dengan 28 persen dari pagu APBN 2025 sebesar Rp71 triliun. Percepatan penyaluran mulai terlihat sejak sistem pencairan anggaran tidak lagi berbasis reimburse.
“Setelah April, mereka (Badan Gizi Nasional) bikin perencanaan sampai 10 hari ke depan, sampaikan ke kami, kami bayar. Kalau lihat realisasi, sekarang sudah mulai cepat. Sejak Juni, Juli, Agustus, ke September, ini naik tiga kali lipat,” ujar Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu, Astera Primanto Bhakti di Jakarta, Jumat (3/10/2025).
Meski serapan meningkat, distribusi penerima program masih jauh dari merata. Data Kemenkeu menunjukkan, Pulau Jawa menyerap 13,26 juta penerima atau 44,2 persen dari total 30 juta penerima. Posisi kedua ditempati Sumatera dengan 4,86 juta penerima atau 16,2 persen. Sementara itu, Sulawesi tercatat 1,70 juta penerima (5,7 persen), Kalimantan 1,03 juta (3,4 persen), Bali–NTB–NTT 1,34 juta (4,5 persen), dan Maluku–Papua hanya 0,52 juta penerima atau 1,7 persen.
Dominasi Jawa dalam program MBG mencerminkan dua faktor utama. Pertama, populasi Jawa yang mencapai sekitar 56 persen dari total penduduk Indonesia, sehingga wajar menjadi wilayah dengan penerima terbesar. Kedua, kesiapan infrastruktur distribusi dan kapasitas SPPG di Jawa lebih matang dibandingkan wilayah lain, membuat implementasi program lebih cepat dan masif.
Namun, pemerintah menyadari bahwa pemerataan menjadi tantangan yang tidak bisa diabaikan. Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menegaskan percepatan program MBG di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) merupakan bagian dari strategi nasional dalam mewujudkan pemerataan gizi.
“Anak-anak di daerah terluar berhak mendapatkan kualitas gizi yang sama baiknya dengan wilayah lain. Sinergi lintas sektor memastikan program MBG berjalan tepat sasaran sekaligus memperkuat sistem pangan lokal,” kata Arief dalam siaran pers, Senin (11/8/2025).
Arief menambahkan bahwa langkah ini merupakan tindak lanjut Rapat Koordinasi Tingkat Menteri pada 26 Juni 2025 yang menekankan percepatan akses pangan bergizi bagi anak sekolah di wilayah 3T. “Kami memastikan setiap rekomendasi Rakor Menko Pangan diimplementasikan secara nyata di lapangan, agar pemanfaatan potensi lokal berjalan optimal, gizi anak meningkat, dan ekonomi daerah ikut tumbuh,” ujarnya saat meninjau pelaksanaan MBG di Morotai, Maluku Utara.
Secara hukum, persoalan ini menyinggung aspek keadilan dalam penggunaan anggaran negara. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan bahwa pengelolaan APBN harus menjamin pemerataan dan keadilan antardaerah. Ketimpangan distribusi MBG yang masih dominan di Jawa berpotensi dipandang tidak selaras dengan amanat undang-undang tersebut.
Astera menegaskan pemerintah akan terus mengevaluasi pola penyaluran agar manfaat MBG dapat dirasakan lebih luas. “Semua anggaran K/L dilakukan evaluasi. Harapannya ke depan penerima MBG bisa terus bertambah, begitu juga dengan pelayanan yang ditingkatkan sehingga bisa mencapai target,” katanya.
Ke depan, tantangan pemerintah tidak berhenti pada percepatan serapan, melainkan memastikan keadilan distribusi antarwilayah. Apalagi, anggaran MBG pada 2026 diproyeksikan melonjak drastis hingga Rp335 triliun, naik hampir empat kali lipat dari tahun sebelumnya.
Dengan alokasi jumbo tersebut, pemerintah dituntut membuktikan bahwa program MBG benar-benar mampu menjangkau seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya mayoritas di Pulau Jawa. Jika pemerataan gagal diwujudkan, program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ini dikhawatirkan hanya akan memperkuat sentralisasi manfaat di wilayah padat penduduk, sementara daerah 3T kembali tertinggal.
Lonjakan anggaran 2026 menjadi ujian nyata, apakah MBG bisa menjadi instrumen pemerataan gizi nasional atau justru memperlebar kesenjangan antarwilayah. Pemerintah dihadapkan pada tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa setiap rupiah dari APBN benar-benar hadir untuk seluruh anak bangsa.
Pewarta : M.Nan