SUARAMALANG.COM, Sidoarjo – Pondok Pesantren Al-Khoziny berdiri sebagai wujud amanat dan warisan keilmuan dari almarhum K.H. Moch. Khozin, salah satu tokoh ulama yang sebelumnya menjadi pengasuh Pondok Pesantren di Siwalan Panji, Sidoarjo.
Awalnya, K.H. Moch. Khozin adalah santri di pesantren tersebut, kemudian menjadi menantu dari K.H. Faqih, pengasuh pesantren yang juga mertua dari pendiri Nahdlatul Ulama, K.H. Hasyim Asy’ari.
Kisah pendirian pesantren ini tak lepas dari pertemuan spiritual yang dialami ulama besar Madura, K.H. Kholil Bangkalan. Saat menunaikan ibadah haji, beliau bermimpi bertemu dengan Imam Syafi’i, salah satu imam mazhab empat. Dalam mimpi itu, Imam Syafi’i menitipkan salam khusus untuk K.H. Moch. Khozin. Dengan petunjuk yang diterima, K.H. Kholil akhirnya bertemu langsung dengan K.H. Moch. Khozin dan menyampaikan amanat tersebut.
Sebagai wujud pelaksanaan amanat, K.H. Moch. Khozin mengadakan khataman kitab Tafsir Jalalain setiap bulan Ramadan. Seiring waktu, jumlah peserta khataman terus bertambah, termasuk para ulama dari Jawa dan Madura.
Karena banyak santri yang datang menggunakan kereta api, pemerintah Hindia Belanda akhirnya membangun Stasiun Buduran untuk memudahkan akses ke lokasi pesantren. Stasiun ini masih berdiri hingga sekarang sebagai saksi sejarah perkembangan pesantren.
Pada tahun 1926, bersamaan dengan lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Moch. Khozin mendirikan bangunan di Buduran yang awalnya direncanakan sebagai rumah tinggal putranya, K.H. Moch. Abbas, yang baru kembali dari menimba ilmu di Mekkah selama 10 tahun. Namun, karena antusiasme masyarakat dan santri, bangunan itu kemudian difungsikan sebagai pondok pesantren dan diasuh oleh K.H. Moch. Abbas.
K.H. Moch. Khozin wafat pada 1955. Setelah itu, amanat untuk mengadakan khataman Tafsir Jalalain diteruskan oleh K.H. Moch. Abbas yang dikenal memiliki sifat hidup sederhana, bahkan disebut sebagai seorang sufi karena kezuhudannya.
Pesantren yang awalnya bernama Ma’hadul Mustarsyidin ini kemudian berganti nama menjadi Pondok Pesantren Al-Khoziny pada tahun 1978. Di bawah kepemimpinan K.H. Abdul Mujib Abbas, pesantren ini terus berkembang, tetap mempertahankan ciri khas sebagai pondok salaf sekaligus beradaptasi dengan kebutuhan pendidikan modern.
Beberapa tonggak penting pengembangan pendidikan formal di pesantren ini, antara lain:
-
1964 – Pendirian Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), yang kemudian menjadi Madrasah Tsanawiyah Al-Khoziny pada 1970.
-
1970 – Pendirian Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI), lalu diubah menjadi Madrasah Aliyah Al-Khoziny.
-
1971 – Pendirian Sekolah Persiapan A dan B, yang kemudian menjadi Madrasah Ibtidaiyah Al-Khoziny.
-
1982 – Pendirian Sekolah Tinggi Diniyah yang kemudian diformalkan pada 1993 menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) dan Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an (STIQ), yang kini berkembang menjadi Institut Agama Islam (IAI) Al-Khoziny.
Pesantren yang kini berusia 99 tahun ini dikenal sebagai salah satu pesantren berpengaruh di Jawa Timur yang telah melahirkan banyak ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama.
Ponpes Al Khoziny juga dikenal sebagai pelopor pendidikan yang tetap mempertahankan ciri khas pesantren salaf, sambil terus beradaptasi dengan perkembangan zaman melalui inovasi di bidang pendidikan formal dan keagamaan.
Dengan usia yang hampir mencapai satu abad, Ponpes Al Khoziny tidak hanya menjadi pusat pembelajaran agama, tetapi juga mercusuar peradaban Islam yang telah memberikan kontribusi besar bagi kemajuan pendidikan dan dakwah di Indonesia.
Seiring bertambahnya usia, pesantren ini terus memperkuat komitmen untuk mencetak generasi penerus bangsa yang berakhlak mulia, berilmu, dan siap menjadi pemimpin umat di masa depan.
Pewarta : M.Nan