SUARAMALANG.COM, Surabaya – Upaya komunitas penyedia jasa sound system untuk mengubah persepsi publik dengan mengganti istilah “sound horeg” menjadi “Sound Karnaval Indonesia” rupanya belum mampu meredam sorotan tajam dari otoritas keagamaan dan pemerintah daerah Jawa Timur.
Paguyuban Sound Malang Bersatu menyampaikan ikrar penggantian nama dalam sebuah deklarasi yang digelar pada peringatan hari jadi ke-6 Team Sotok di Desa Gedog Kulon, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, yang dihadiri oleh tokoh-tokoh besar komunitas sound system seperti Mas Bre dari Brewog Audio Blitar dan Memed Potensio alias Thomas Alva EdiSound Horeg.
Ketua Paguyuban Sound Malang Bersatu, David Stevan, menyebut bahwa perubahan nama dilakukan demi menghindari kesan negatif serta memperlihatkan itikad baik dari komunitas untuk lebih tertib dan patuh pada peraturan yang berlaku.
“Kita tidak lagi pakai istilah sound horeg. Sekarang resmi memakai nama Sound Karnaval Indonesia,” ujar David, Rabu (30/7/2025), sembari menegaskan bahwa istilah lama bukan berasal dari komunitas melainkan julukan dari masyarakat akibat karakter suara yang bergemuruh.
Namun, perubahan istilah ini tak cukup bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang tetap menyoroti substansi masalah, yakni tingkat kebisingan yang dianggap mengganggu kesehatan masyarakat dan melanggar batas wajar.
Sekretaris MUI Jatim, KH Hasan Ubaidillah, menyampaikan bahwa fatwa yang dikeluarkan lembaganya bukan soal nama, melainkan tentang dampak nyata yang ditimbulkan dari suara berlebih di ruang publik.
“Yang kami soroti adalah tingkat kebisingan, bukan nama. Mau ganti jadi apa pun, kalau desibel suaranya melampaui batas, itu tetap mengganggu,” tegas Ubaidillah, Kamis (31/7/2025).
Menurutnya, suara dengan intensitas di atas 85 desibel sudah berada di luar batas aman yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan berpotensi menimbulkan kerusakan pendengaran hingga gangguan kognitif.
“Kalau kebisingannya melebihi ambang batas, itu bisa sebabkan gangguan pendengaran permanen, dan bahkan memicu masalah kognitif jangka panjang,” jelasnya.
Sikap tegas juga disampaikan oleh Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak, yang memastikan bahwa Pemprov Jatim tengah menyelesaikan aturan teknis terkait pengoperasian sound system di area publik.
“Ganti nama boleh saja, tapi semua harus patuh aturan. Pengaturannya bukan soal istilah, tapi teknis dan dampaknya,” ujar Emil, Jumat (1/8/2025).
Menurut Emil, regulasi tersebut disusun bersama pihak kepolisian dan akan memuat berbagai ketentuan teknis sebagai dasar penegakan hukum di lapangan.
Syarat dan Ketentuan Penggunaan Sound System di Area Publik (Versi Pemprov Jatim):
Batasan Kebisingan: Tingkat suara tidak boleh melebihi 85 desibel, sesuai standar WHO dan aturan Kementerian Lingkungan Hidup.
Dimensi Kendaraan: Kendaraan yang membawa peralatan sound system harus memenuhi standar ukuran jalan dan tidak menghalangi lalu lintas.
Zona Larangan: Tidak boleh melintas atau digunakan di dekat fasilitas kesehatan, sekolah, atau area pemukiman padat.
Jam Operasional: Penggunaan hanya diizinkan pada waktu-waktu tertentu yang ditetapkan pemerintah daerah.
Jenis Kegiatan yang Diizinkan: Hanya untuk acara berizin dan sesuai dengan kegiatan budaya, hiburan rakyat, atau event resmi yang tercatat di pemerintah.
Pengawasan dan Penegakan Hukum: Petugas berwenang dari kepolisian atau Satpol PP dapat menghentikan kegiatan yang terbukti melanggar.
Sanksi Hukum: Pelanggaran dapat dikenai sanksi administratif hingga penghentian kegiatan, sesuai dengan dasar hukum dari KLHK dan aturan lalu lintas.
Wakil Gubernur Emil juga mengingatkan bahwa pemerintah tidak bermaksud membatasi hak masyarakat untuk menikmati hiburan, melainkan menjaga keseimbangan antara hiburan dan ketertiban umum.
“Masyarakat tetap bisa menikmati hiburan, tapi harus dalam koridor aturan dan kewajaran. Jangan sampai menimbulkan keresahan atau gangguan kesehatan,” tuturnya.
Ia juga mengingatkan agar regulasi tidak berhenti hanya dalam bentuk dokumen, tetapi benar-benar ditegakkan secara nyata di lapangan.
“Yang penting bukan hanya dokumennya, tapi juga penegakan di lapangan. Jangan sampai aturan hanya jadi macan kertas,” tandas Emil.
Komunitas sound system sendiri menyatakan siap untuk bersikap kooperatif dan mengikuti arah kebijakan pemerintah, serta berharap polemik ini segera mereda demi kepentingan bersama.
“Harapan kami ke depan tidak ada lagi kegaduhan. Kita akan selalu patuh terhadap peraturan pemerintah,” pungkas David Stevan, pemilik Blizzard Audio.
Pewarta : M.Nur