SUARAMALANG.COM, Malang Raya – Warga Malang Raya belakangan mengeluhkan cuaca yang terasa lebih panas, meski wilayah ini secara kalender klimatologi sudah memasuki musim hujan. Kondisi tersebut memunculkan tanda tanya, mengingat hujan seharusnya membawa suhu yang lebih sejuk.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan, panas yang dirasakan masyarakat bukan disebabkan meningkatnya intensitas sinar matahari, melainkan minimnya tutupan awan yang berfungsi sebagai penyaring radiasi matahari ke permukaan bumi.
Prakirawan BMKG Stasiun Klimatologi Karangploso Malang, Ahmad Luthfi, menyebutkan bahwa ketika langit cenderung cerah tanpa awan, panas matahari akan langsung mengenai permukaan dalam waktu yang lebih lama.
“Kalau sinar matahari sampai ke permukaan bumi tanpa penghalang, artinya tidak ada awan. Pemanasannya berlangsung lebih lama dan itu yang membuat kondisi terasa jauh lebih panas,” ujar Luthfi, dilansir BlokA, Selasa (30/12/2025).
Menurut Luthfi, kondisi tersebut dapat terpantau melalui citra satelit yang digunakan BMKG. Warna tertentu pada citra menjadi indikator ada atau tidaknya tutupan awan di suatu wilayah.
“Semakin terang warna di citra satelit mengindikasikan kumpulan awan. Sebaliknya jika berwarna biru atau hitam mengindikasikan cakupan awan yang sedikit bahkan hingga tidak ada awan,” terangnya.
Ia menambahkan, secara umum wilayah dataran tinggi memang identik dengan suhu yang lebih sejuk. Namun, kondisi itu bisa berubah ketika awan sebagai penyaring panas tidak terbentuk secara optimal.
“Suhu itu menggambarkan bahwa semakin tinggi elevasinya biasanya lebih dingin. Tapi kalau tidak ada awan sebagai penyaring, tetap saja panasnya terasa,” terangnya.
BMKG juga mencermati kandungan uap air di atmosfer Malang Raya yang berada pada kondisi tidak cukup basah untuk membentuk awan hujan, namun juga tidak sepenuhnya kering. Situasi tersebut membuat pembentukan awan hujan menjadi terhambat, meski musim hujan sudah berlangsung.
Lebih jauh, Luthfi menjelaskan bahwa kondisi ini turut dipengaruhi anomali pola angin regional. Keberadaan Siklon Tropis Anggrek dan bibit siklon tropis 90S di wilayah selatan Indonesia disebut berperan dalam menghambat distribusi uap air ke Jawa Timur.
“Secara normal, uap air itu bergerak mengikuti angin. Tapi saat ini distribusi uap air tertahan karena ada tarikan dari siklon tropis dan bibit siklon tropis tersebut,” jelasnya.
Tarikan tersebut membuat uap air terkonsentrasi di wilayah tertentu, sementara daerah lain, termasuk Malang Raya, justru mengalami kekurangan suplai uap air untuk pembentukan awan hujan.
“Awan itu tidak bisa bergerak sendiri tanpa angin. Karena ada tarikan dan belokan angin, uap air menumpuk di pusat tertentu, sementara wilayah lain justru kekurangan,” pungkas Luthfi.
