Pengamat ISSES : Pernyataan Polri Bagian Masyarakat Sipil Boleh Menjabat diluar Struktur adalah Fallacy Logic

SUARAMALANG.COM, Jakarta – Perdebatan mengenai boleh tidaknya anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil kembali mencuat setelah sejumlah tokoh menyebut Polri adalah bagian dari masyarakat sipil sehingga dapat menempati posisi di luar struktur institusi kepolisian.

Pandangan tersebut kemudian menuai respons tegas dari Pengamat Kepolisian Institute For Security and Strategic Studies (ISSES), Bambang Rukminto, yang menilai klaim tersebut sebagai kekeliruan berpikir atau fallacy logic.

Bambang menyampaikan kritiknya menanggapi pendapat Chairul Anam dari Kompolnas, pengamat politik Margarito Kamis, anggota Komisi III DPR Nasir Jamil, serta tokoh lain yang menyatakan bahwa polisi aktif tidak melanggar aturan apabila menjabat di lembaga sipil.

Menurut Bambang, penjelasan tersebut tidak tepat karena meskipun secara aturan Polri dikategorikan sebagai institusi sipil, sifat dan kedudukannya tidak dapat disamakan dengan masyarakat sipil pada umumnya.

“Polri adalah aparatur negara yang diberi tugas menjalankan salah satunya fungsi pemerintahan yakni menjaga kamtibmas,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa Polri merupakan institusi sipil yang diberi kewenangan penuh oleh negara untuk menggunakan senjata dan menjalankan tindakan koersif dalam proses penegakan hukum.

Kewenangan tersebut membuat posisi Polri berada pada tingkat tanggung jawab yang berbeda sehingga tidak dapat dileburkan ke dalam aktivitas sipil tanpa pembatasan yang ketat.

Oleh karena itu, Bambang menegaskan perlunya kontrol agar kewenangan kepolisian tidak disalahgunakan untuk kepentingan di luar urusan negara yang menjadi mandat utama institusi tersebut.

“Filosofi dasar Pasal 28 UU Polri itu adalah memberikan batasan yang jelas dan tegas terkait peran Polri dalam politik maupun birokrasi,” katanya.

Sementara itu, pengamat politik Mohammad Al Katiri menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan peluang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil merupakan langkah tepat dalam memperkuat proses reformasi kepolisian.

Ia menilai bahwa pelonggaran aturan justru membuka peluang penyalahgunaan kewenangan terutama ketika anggota Polri masih memiliki kapasitas koersif yang tidak dimiliki pejabat sipil.

Al Katiri mengingatkan bahwa saat ini terdapat ribuan anggota Polri yang menduduki jabatan di instansi negara dan kementerian, yang harus menyesuaikan diri dengan putusan MK.

“Sebanyak 4.351 anggota Polri yang menduduki jabatan di lembaga/instansi negara dan kementrian harus segera mundur atau mengajukan pensiun, putusan MK harus dipatuhi,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa kepatuhan terhadap putusan tersebut menjadi langkah penting dalam memastikan supremasi hukum sekaligus menjaga profesionalisme Polri sebagai aparat penegak hukum yang netral.

Perdebatan ini juga menunjukkan urgensi penegasan batas kewenangan kepolisian agar institusi tersebut tidak terjerumus pada konflik kepentingan yang dapat mengganggu independensi dan kredibilitasnya di mata publik.

Dengan menguatnya kembali perhatian publik terhadap isu ini, pengamat menilai bahwa pemerintah dan Polri harus memperkuat komitmen reformasi sehingga arah kebijakan sejalan dengan prinsip demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang bersih.

Exit mobile version