Revisi Pajak Kripto: Pemerintah Alihkan Status Aset Digital Jadi Instrumen Keuangan, PPN Terancam Dihapus

SUARAMALANG.COM, Jakarta – Pemerintah bersiap melakukan revisi besar terhadap kebijakan pajak aset kripto dengan mengalihkan statusnya dari komoditas menjadi instrumen keuangan.

Perubahan status ini akan berdampak langsung terhadap skema perpajakan yang selama ini membebankan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) final pada setiap transaksi jual-beli aset kripto.

Jika rencana ini terealisasi, maka transaksi kripto berpotensi tidak lagi dikenakan PPN dan akan mengikuti pola perpajakan yang berlaku di pasar modal seperti saham dan obligasi.

Langkah ini diungkapkan oleh Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto sebagai bagian dari strategi memperluas cakupan pemajakan atas aktivitas ekonomi digital.

“Dulu kami mengatur kripto itu sebagai bagian dari komoditas. Kemudian ketika dia beralih kepada instrumen finansial, maka aturannya harus kita sesuaikan,” ujar Bimo dalam peluncuran Piagam Wajib Pajak, Selasa, 22 Juli 2025.

Revisi ini akan mencabut skema yang selama ini diatur dalam PMK No. 68/PMK.03/2022 dan PMK No. 81 Tahun 2024, yang mengatur pemungutan PPN sebesar 0,11 persen dan PPh final sebesar 0,1 persen dari setiap transaksi.

Penerimaan negara dari PPN transaksi kripto sejak diberlakukan pada Mei 2022 hingga 31 Maret 2025 tercatat hanya sebesar Rp1,2 triliun.

Jumlah ini tergolong sangat kecil dibandingkan target penerimaan pajak nasional tahun 2025 yang mencapai Rp2.490,91 triliun.

Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa dampak revisi terhadap pendapatan negara tidak signifikan namun bisa memberi kejelasan regulasi untuk industri kripto.

“Jika [aset kripto] kemudian didefinisikan menjadi surat berharga maka transaksi perdagangan kripto menjadi tidak kena PPN. Pasti akan menjadi kabar baik bagi industri kripto,” kata Fajry.

Sementara itu, CEO Indodax Oscar Darmawan menyambut baik rencana penghapusan PPN karena menurutnya kripto memiliki karakteristik serupa dengan instrumen keuangan.

“Dengan dihapusnya PPN, justru berpotensi meningkatkan pendapatan negara dari pajak penghasilan (PPh) final atas transaksi kripto,” ungkap Oscar dalam pernyataan resmi, Sabtu, 4 Januari 2025.

Tarif PPN atas pembelian aset kripto melalui Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) saat ini ditetapkan sebesar 0,12 persen, sedangkan untuk biaya deposit, penarikan rupiah, dan biaya trading dikenakan tarif PPN 11 persen sebagaimana diatur dalam PMK No. 131 Tahun 2024 Pasal 3.

Meski belum dijelaskan secara rinci, perubahan aturan ini menandai arah baru kebijakan fiskal digital Indonesia yang akan diterapkan lebih sistematis mulai tahun 2026.

Pemerintah masih menyusun kerangka regulasi baru untuk memastikan perpajakan sektor kripto dapat mencerminkan nilai ekonomi aktual tanpa menghambat inovasi teknologi finansial.

Revisi ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha dan investor, serta mendorong perkembangan industri aset digital secara sehat dan berkelanjutan.

Pewarta : Kiswara