SUARAMALANG.COM, Jakarta – Riset pemanfaatan jerami padi sebagai sumber bahan bakar alternatif kembali mendapat sorotan setelah Badan Riset dan Inovasi Nasional menyebut pengembangannya masih berhenti pada tahap laboratorium.
Kepala Organisasi Riset Energi dan Manufaktur BRIN Cuk Supriyadi Ali Nandar menegaskan bahwa penelitian jerami padi mengalami hambatan serius terkait rendahnya rendemen dan belum tersedianya teknologi produksi yang efisien.
“Kami pernah meneliti jerami pada 2015-2016, dan kendala terbesar adalah rendemen rendah serta belum adanya teknologi produksi yang efisien,” ujar Supriyadi pada Rabu (19/11/2025).
Ia menjelaskan bahwa secara teori biomassa seperti jerami dapat dikonversi menjadi produk bahan bakar, tetapi efektivitas pra-perlakuan dan efisiensi produksi menjadi faktor penentu keberhasilan.
Kebutuhan untuk memenuhi standar mutu nasional maupun internasional juga menjadi tantangan berat bagi pengembangan bioetanol jerami dalam skala industri.
BRIN mencatat bahwa jerami padi mengandung selulosa, hemiselulosa, serta lignin yang sebenarnya menjadikannya kandidat potensial sebagai bahan baku biofuel berkadar emisi rendah.
Namun tingginya kandungan mineral, terutama silika, membuat proses fermentasi menjadi sulit dan menambah kompleksitas teknologi yang dibutuhkan dalam produksi bioetanol.
“Kandungan abu pada jerami padi umumnya berkisar 13-20 persen, sementara itu kandungan silika dalam abu tersebut sangat tinggi hingga mencapai lebih dari 80 persen dari total abu atau sekitar 87-97 persen dari berat abu sekam padi,” jelas Supriyadi.
Tingginya kadar silika itu menurutnya berdampak langsung pada kemampuan bahan untuk difermentasi sehingga badan riset ini masih terus meneliti pendekatan untuk meningkatkan efisiensi.
Supriyadi menekankan bahwa sejumlah negara di Asia seperti India, Thailand, dan Filipina saat ini juga melakukan penelitian intensif terhadap berbagai aplikasi energi berbasis jerami padi.
Ia menambahkan bahwa riset global menghadapi tantangan besar yang sama, yakni kandungan abu tinggi yang menyebabkan biaya pengolahan menjadi lebih mahal dan memerlukan teknologi lanjutan.
Produksi bioetanol dari jerami pada tingkat dunia masih berada pada tahap demonstrasi sehingga belum mencapai tingkatan komersial seperti jagung atau tebu yang digunakan di Amerika Serikat dan Brasil.
Dari sisi teknis, tahapan produksi meliputi pra-perlakuan, hidrolisis, fermentasi, distilasi, hingga dehidrasi yang masing-masing memerlukan presisi proses untuk menghasilkan kualitas yang memenuhi standar.
Setiap tahap membutuhkan kombinasi rekayasa kimia dan biologis yang belum sepenuhnya optimal untuk bahan baku jerami, sehingga efisiensi belum mampu bersaing dengan sumber berbasis biji-bijian.
BRIN menilai bahwa peningkatan efisiensi pra-perlakuan menjadi faktor paling krusial karena proses pembukaan struktur karbohidrat kompleks menentukan jumlah gula sederhana yang bisa difermentasi.
Masalah lain muncul dari logistik pasokan jerami yang belum tertata sehingga keberlanjutan suplai untuk pabrik skala besar masih jauh dari memadai.
Supriyadi menegaskan bahwa penelitian lanjutan fokus pada peningkatan teknologi agar hasil bioetanol meningkat seiring kebutuhan energi ramah lingkungan yang terus bertambah.
“Penelitian berkelanjutan berfokus pada peningkatan efisiensi proses untuk meningkatkan hasil,” ungkapnya.
Melihat kebutuhan energi masa depan, BRIN menilai bahwa terobosan teknologi sangat dibutuhkan agar jerami padi dapat diolah secara ekonomis dan memenuhi standar industri internasional.
Perkembangan riset diharapkan mampu menjembatani kesenjangan antara potensi biomassa yang melimpah dengan kemampuan teknologi konversi yang masih menjadi hambatan utama bagi komersialisasi biofuel jerami.
