Terkait dengan anggaran renovasi rumah dinas Walikota dan wakil walikota Malang senilai 2,4 miliar rupiah, menurut lembaga pemerhati publik AWAS Solidarity, warga berhak bertanya — “Mengapa renovasi rumah dinas pejabat justru menjadi prioritas di tengah berbagai kebutuhan mendesak warga?”. Faktanya :
banjir, gorong-gorong, jalan berlubang, pasar besar ,pasar blimbing,pasar gadang kumuh gak dirawat, apa akibat gak ada anggaran. Bahkan pelayanan dasar masih dikeluhkan di sejumlah titik dengan alasan anggaran sosial seret. Program-program strategis Pemkot masih minim berdampak nyata pada masyarakat.
Di tengah situasi seperti ini, publik wajar bereaksi keras saat muncul angka Rp 2,4 Miliar hanya untuk penataan rumah dinas dua pejabat.
APBD adalah alat keberpihakan, bukan kenyamanan pejabat.
AWAS Solidarity ingin menyatakan keprihatinannya, lantaran :
1.Rumah dinas bukan prioritas di tengah problem pelayanan publik yang mendesak.
2.Luxury spending ini kontraproduktif dengan narasi “Pemkot sedang berhemat” atau “anggaran defisit”.
3.Kebutuhan rakyat harus selalu berada di atas kebutuhan kosmetik pejabat.
Masyarakat bukan anti perbaikan bangunan, tapi mempertanyakan urgensinya, momentumnya, dan kepantasan moralnya.
Jika rumor yang beredar benar bahwa proyek renovasi sudah mulai dikerjakan, maka:
1.Ada risiko ketidaksinkronan informasi,
2.Ada kemungkinan penganggaran tidak transparan,
Dan memunculkan pertanyaan serius:
“Apakah renovasi sudah berjalan sebelum disahkan anggarannya untuk tahun depan?”
Kalau benar, ini fatal secara tata kelola.
3.Harus ada audit terbuka
AWAS Solidarity menuntut adanya, audit Teknis.
Bangunan disebut “sudah rusak parah”, tapi tidak ada data resmi ke publik.
Mana foto teknis? Mana kajian kerusakan? Mana dokumen asesmen?
Angka Rp 2,4 M bukan uang kecil.
Harus di klarifikasi apakah, sudah ada pengerjaan lebih awal?
Sudah ada pemenang tender? Sudah ada pencairan? Mengapa nilai renovasi Wawali lebih besar dari Wali Kota (5x lipat)? Apakah rencana ini pernah dipublikasikan sebelumnya?
4.Kepemimpinan diuji dari sensitivitas sosial. Ketika rakyat sedang susah: tarif naik, pajak naik, infrastruktur bermasalah, UMKM megap-megap,
Sementara pejabat sibuk dengan kenyamanan pribadi, dan riwa-riwi menerima penghargaan di Malang-Jakarta hampir setiap minggu yang tidak berpengaruh nyata terhadap masyarakat, yang katanya juga efisiensi.
AWAS Solidarity menekankan:
Pemerintah tidak boleh membiarkan narasi publik bergerak liar.
Harus ada klarifikasi resmi, terbuka, dan rinci.
Jika tidak, maka wajar apabila warga menilai, pejabatnya sibuk memperbaiki rumah dinasnya, rakyatnya dibiarkan hidup dengan masalah yang sama setiap hari.
Sikap AWAS Solidarity
Menolak APBD yang tidak berorientasi pada kebutuhan publik.
Mendesak transparansi penuh atas rencana renovasi Rp 2,4 M.
Mengajak warga terus mengawasi setiap belanja pemerintah.
Karena APBD adalah uang rakyat, bukan anggaran perbaikan kenyamanan pejabat.
Menanggapi informasi: renovasi belum berjalan, anggaran diambil dari Perubahan Anggaran Keuangan 2025
1. Ini justru memperjelas bahwa masalahnya bukan sekadar renovasi, tetapi soal prioritas anggaran.
Jika dana diambil dari PAK 2025, maka Pemkot secara sadar memindahkan anggaran publik ke proyek yang tidak mendesak.
Padahal Inpres 1/2025 sudah sangat jelas:
belanja daerah harus diarahkan pada efisiensi, prioritas pelayanan dasar, dan kebutuhan masyarakat yang paling mendesak.
2. Sensitivitas sosial Pemkot benar-benar dipertanyakan
Warga sedang menghadapi: banjir, drainase bermasalah,
Pasar pasar kumuh
jalan rusak, fasilitas umum minim perawatan, dan pelayanan dasar masih jauh dari memuaskan.
Namun ratusan juta hingga miliaran dialihkan untuk renovasi rumah dinas elite.ini bukan hanya soal anggaran — ini soal rasa keadilan sosial.
3. Kritik George soal mentalitas ASN itu akurat
AWAS Solidarity sering melihat pola ini: ASN takut kehilangan jabatan → memilih keputusan yang menyenangkan atasan → akhirnya menabrak asas kepatutan, skala prioritas, dan nalar publik.
Jika budaya seperti ini dibiarkan, good governance tidak akan pernah lahir di Kota Malang.
4. Pemkot harus menjelaskan secara terbuka
Dengan fakta baru ini, pertanyaannya berubah:
➤ Mengapa renovasi dimasukkan dalam PAK?
PAK seharusnya hanya untuk kebutuhan mendesak atau penyesuaian yang tidak bisa ditunda, bukan untuk proyek kenyamanan pejabat.
➤ Apa dasar urgensinya?
Tidak ada data teknis yang dipublikasikan.
Tidak ada risiko bangunan runtuh.
Tidak ada kajian kondisi yang dibuka ke publik.
➤ Mengapa nilainya timpang (Rp 2 M vs Rp 400 Juta)?
5. Sikap AWAS Solidarity
Menolak pengalihan anggaran PAK untuk renovasi rumah dinas pejabat.
Mendesak review ulang oleh TAPD & DPRD.
Meminta audit transparan kondisi bangunan, urgensi teknis, serta alasan pemilihan renovasi sebagai prioritas PAK.
Inpres 1/2025 adalah perintah negara, bukan sekadar saran.
APBD adalah uang rakyat, bukan uang nyaman-nyamanan pejabat.
Penulis : Eka Fatmawati, SH., S.Pd, Aktifis PMII, Relawan AWAS Solidarity,
Penulis : Firdaus, SH, Sekretaris LBH AP PDM Kota Malang





















