Iklan
Opini  

Sultan HB X dan Seni Meredam Demonstrasi

Iklan

Oleh : Dr. Muhammad Najih Farihanto, MA *

Peristiwa dini hari 30 Agustus 2025 di halaman Polda DIY meninggalkan catatan penting bagi perjalanan demokrasi di Yogyakarta. Ribuan massa yang sejak sore hingga malam melakukan demonstrasi imbas dari meninggalnya Afan Kurniawan, pengemudi ojol yang meninggal terlindas rantis polisi pada saat demo di Jakarta. Situasi berlangsungp ricuh, apalagi masa membakar gedung dan beberapa kendaraan yang terparkir di depan Polda DIY, keadaan berbalik arah ketika Sri Sultan Hamengkubuwono X hadir secara langsung di tengah kerumunan, sekitar pukul satu dini hari. Kehadiran ini bukan hanya langkah simbolis, tetapi menjadi bukti nyata bagaimana kepemimpinan berbasis kearifan budaya dapat meredam ketegangan politik.

Iklan

Sultan tidak datang dengan protokol kaku ataupun pengawalan berlebihan. Sebuah simbol budaya Jawa yang sarat makna: pemimpin turun langsung untuk melindungi rakyatnya. Gestur ini seketika mengubah atmosfer massa. Demonstran yang semula tegang, mendadak cair dan memberi ruang bagi Sultan untuk berbicara. Di sinilah letak kekuatan Sultan: ia tidak memposisikan diri sebagai pejabat yang memberi perintah, melainkan sebagai seorang bapak yang mendengarkan keluh kesah anak-anaknya.

Pesan yang disampaikan pun sederhana. Sultan menegaskan bahwa aspirasi rakyat adalah bagian dari proses demokrasi yang wajar, sekaligus menyerukan agar semuanya dijalankan dengan damai. Beliau bahkan menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya seorang pengemudi ojek online di Jakarta, yang menjadi korban dalam gelombang demonstrasi nasional. Kata-kata singkat ini sarat empati, jauh dari retorika birokrasi yang dingin. Tidak ada kalimat menggurui, tidak pula ancaman. Justru di situlah pesan moral Sultan terasa menyentuh.

Jika dibandingkan dengan gaya pemimpin daerah lain, apa yang dilakukan Sultan jelas berbeda. Banyak kepala daerah lebih memilih bicara lewat media, atau hanya mengirimkan perwakilan ketika ada gejolak massa. Komunikasi mereka cenderung normatif: menekankan aturan hukum, prosedur, atau janji untuk menyalurkan aspirasi ke pemerintah pusat. Akibatnya, massa sering merasa diabaikan dan tetap bertahan, bahkan kadang berakhir bentrok dengan aparat.

Sultan HB X memperlihatkan formula yang lebih ampuh: kehadiran langsung, bahasa empati, dan solusi konkret. Tiga hal ini jarang berjalan bersamaan dalam kepemimpinan modern. Kehadiran langsung menandakan keseriusan, bahasa empati menenangkan emosi, dan solusi konkret membuktikan bahwa aspirasi tidak berakhir di udara. Ketiganya diperkuat oleh legitimasi budaya Sultan sebagai raja sekaligus gubernur, posisi unik yang tidak dimiliki pemimpin lain di Indonesia.

Pelajaran dari Yogyakarta ini penting untuk dicatat. Di tengah era politik yang kerap dingin dan birokratis, masyarakat membutuhkan pemimpin yang bukan hanya mengatur, tetapi juga hadir. Masyarakat ingin didengar, bukan dihakimi. Masyarakat ingin dipeluk, bukan ditekan. Sultan HB X menunjukkan bahwa meredam demonstrasi tidak selalu harus dengan barikade atau gas air mata. Kadang, cukup dengan datang, mendengar, berbicara tulus, dan memberikan sedikit solusi nyata.

Di titik inilah kita bisa mengatakan bahwa Sultan tidak sekadar meredam demonstrasi. Beliau sedang mengajarkan seni kepemimpinan: seni mendengarkan, seni menenangkan, dan seni menyelesaikan masalah dengan hati. Seni yang barangkali sederhana, tetapi justru itulah yang membuat demokrasi tetap hidup dengan damai.

*) Penulis : Dr. Muhammad Najih Farihanto, MA., Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan

*) Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis

Iklan
Iklan
Iklan