SUARAMALANG.COM, Jakarta – Putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menyorot perhatian publik setelah menetapkan vonis 4,5 tahun penjara kepada mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi, meski dirinya dinilai tidak menerima keuntungan pribadi dalam proses akuisisi PT Jembatan Nusantara.
Majelis hakim membacakan putusan tersebut pada Kamis (20/11/2025) dan menyatakan bahwa Ira terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam kerja sama usaha dan akuisisi PT JN yang dilakukan PT ASDP pada periode 2019–2022.
Vonis itu tercantum dalam amar putusan yang dibacakan oleh hakim ketua Sunoto, yang menyampaikan, “Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan penjara, dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara,” dalam persidangan Tipikor di PN Jakarta Pusat pada Kamis (20/11/2025).
Putusan tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK yang sebelumnya meminta hukuman 8,5 tahun penjara bagi Ira, namun tetap menegaskan adanya perbuatan melawan hukum yang dianggap merugikan negara.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam pernyataan tertulis pada Minggu (23/11/2025), menguatkan bahwa kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp1,25 triliun akibat proses akuisisi yang dikondisikan.
“Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa Terdakwa Saudari Ira Puspadewi, selaku Direktur Utama PT ASDP periode 2017–2024, terbukti bersalah melakukan perbuatan melawan hukum dalam kerja sama akuisisi PT JN oleh PT ASDP, dan atas perbuatan tersebut menimbulkan kerugian keuangan negara senilai Rp1,25 triliun,” kata Budi.
Namun majelis hakim mencatat bahwa meskipun terbukti memperkaya pihak lain, khususnya pemilik PT JN, Adjie, Ira tidak menikmati keuntungan pribadi dari transaksi tersebut sehingga tidak dikenakan pidana uang pengganti.
Kondisi itu menempatkan perkara ini pada posisi yang rumit karena menunjukkan adanya keputusan bisnis yang dianggap merugikan negara tetapi tanpa adanya aliran dana ke pribadi terdakwa.
Hakim menilai bahwa keputusan akuisisi yang dilakukan PT ASDP tetap memenuhi unsur perbuatan melawan hukum karena adanya pengkondisian dalam proses valuasi, ketidaksesuaian penilaian aset, hingga pelaksanaan due diligence yang dinilai tidak objektif.
Di sisi lain, fakta bahwa Ira tidak memperoleh keuntungan pribadi membuka ruang diskusi baru mengenai integritas tata kelola perusahaan BUMN dalam pengambilan keputusan.
KPK menegaskan bahwa posisi seorang pemimpin perusahaan negara tetap memiliki tanggung jawab hukum, meski tidak ada pembuktian menerima dana untuk kepentingan pribadi.
Keputusan ini sekaligus menjadi pengingat bahwa kelalaian atau penyalahgunaan wewenang dalam manajemen korporasi BUMN dapat menimbulkan konsekuensi pidana meskipun motif personal tidak terbukti.
Perkara ini juga menunjukkan bahwa keputusan bisnis strategis yang memengaruhi keuangan negara menuntut standar kehati-hatian tinggi agar tidak berujung pada temuan perbuatan melawan hukum.
Hingga kini, putusan majelis hakim tersebut menjadi salah satu sorotan utama dalam rangkaian penindakan korupsi di sektor BUMN, terutama karena memunculkan kembali debat publik tentang batas antara kesalahan profesional dan tindak pidana dalam praktik korporasi.
