Opini  

Tidak ada halangan Terpidana Maksimal 5 tahun untuk Menjadi Calon Kepala Daerah

Wiwid Tuhu Prasetyanto, S.H., M.H.

Tidak ada halangan Terpidana Maksimal 5 tahun untuk Menjadi Calon Kepala Daerah

Oleh

W. TUHU PRASETYANTO S.H., M.H.

Pegiat beberapa Lembaga Sosiohumaniora di Malang
Advokat pada Asmojodipati Lawyer’s

“Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.” (Pramudya Ananta Toer-House of Glass)

Kutipan dari Pramudya Ananta Toer dalam buku House of Glass tersebut, secara sederhana kira-kira dapat diartikan bahwa sejatinya kehidupan itu sangat sederhana, hanya saja tafsir manusia yang seolah-olah membuatnya rumit, akantetapi bilamana dipahami pokok dasar laras untuk memahami fenomena kehidupan, maka akan didapati kenyataan jika ternyata sebenarnya hanyalah suatu yang sederhana saja. 

Dalam kehidupan bernegara, yang tentu dimulai dengan menyusun suatu pemerintahan, pada dasarnya juga sederhana, karena kenyataannya, segala tata negara dan pemerintahan yang ada, ujung-ujungnya adalah diatur dengan hukum, bukan dengan etika, ekonomi, agama, politik, ataupun yang lainnya, sebab memang hukum dipandang sebagai sarana paling fair untuk memberikan aturan main dalam kehidupan bernegara menuju keadilan sosial bagi seluruh warga negara, meski tetap tidak bisa dipungkiri bahwasannya hukum tentu saja sangat niscaya memiliki pengaruh dari etika, ekonomi, agama, dan banyak lainnya, terutama politik.

Memahami kaidah sebagaimana tersebut, maka ketika terdapat suatu polemik problematik didalam masyarakat, mengenai berbagai macam hal, untuk mendapatkan kepastian yang relative fair bagi semua pihak, dengan mengesampingkan rasa suka ataupun tidak suka, polemik problematik yang ada haruslah disimak secara sederhana dengan menggunakan perspektif hukum.

Sudah terjadi dan bukan tidak mungkin akan kembali terjadi, hiruk pikuk pada perdebatan pro dan kontra adanya mantan narapidana yang akan turut serta berkontestasi sebagai calon Kepala Daerah, tentu saja khalayak ramai akan memiliki beragam penilaian dengan bermacam-macam perspektif, dari yang menyebut layak sampai menganggab tidak layak, bahkan untuk sekedar menjadi calon belum sampai dipilih, dan ternyata fenomena ini secara konkrit terbaru terjadi di Kota Malang.

Menanggapi fenomena tersebut, bukan dalam arti mendukung akantetapi membaca permasalahan secara sederhana terkait keberadaan Abah Anton sebagai bakal calon Walikota Malang, sedang beliau merupakan mantan terpidana, maka demi mendapatkan kepastian yang relative fair bagi semua pihak baik yang suka maupun tidak suka, haruslah secara sederhana menyimak norma hukum yang berkaitan. 

Sebagaimana putusan perkara No.94/Pid.Sus/2018/PN.Sby Tgl 10 Agustus 2018 Abah Anton dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 dijatuhi pidana penjara 2 (dua) tahun dan denda Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah), selain itu Abah Anton juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 2 (dua) tahun setelah Terdakwa selesai menjalani pidana pokok, fakta tersebut menunjukkan bahwa Abah Anton dianggab bersalah dan harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, sehingga secara hukum, kemudian setelah masa pemidanaan dijalani didalam Lembaga Pemasyarakatan telah selesai, haruslah dimaknai sebagai “Pertaubatan Legal” yang diatur oleh negara juga sudah usai, sehingga berarti secara formal telah siap untuk kembali ke tengah masyarakat dengan segala hak-haknya tanpa diskriminasi, lebih lanjut  secara prinsip didalam hukum juga telah terdapat asas “Ne Bis In Idem” yang berarti tidak boleh seseorang dihukum labih dari satu kali atas perbuatan yang sama, apalagi jika dihukum dengan suatu ketentuan hukum yang baru dibuat, setelah hukuman yang sebelumnya selesai dijalani, karena pada dasarnya hukum tidak bisa berlaku surut. 

Didalam polemik yang membuat pro kontra pencalonan Abah Anton, hal ini bermula dari Putusan MK No.56/PUU-XVII/2019 yang pada intinya mengatur calon kepala daerah  berstatus mantan terpidana untuk maju ikut kontestasi pemilihan kepala daerah, harus menunggu masa jeda selama 5 tahun setelah melewati atau menjalani masa pidana penjara berdasarkan putusan yang telah inkracht, kemudian juga putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023, hingga adanya jurisprodensi dari putusan MK Nomor 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024.

Dari serangkaian keputusan-keputusan tersebut, dapatlah kemudian diketahui bahwasannya secara formal khususnya pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024, Mahkamah Konstitusi sudah mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi sendiri Nomor 12/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum tanggal 28 Februari 2023, hal mana dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah memaknai ketentuan Pasal 182 huruf g UU Pemilu sebagaimana termaktub dalam amar putusan angka 2 yang dalam uraiannya menerangkan sebagai berikut: 

“Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: … g (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.” 

Dalam keputusan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah secara jelas mengkonstruksikan syarat bagi perseorangan yang merupakan mantan terpidana untuk menjadi peserta Pemilu yang dalam putusan tersebut, diuraikan untuk dapat dipahami pada bagian pertimbangan putusan, sebagai sikap konkrit untuk mendudukkan keadilan dengan menyamakan syarat bagi mantan terpidana yang akan berkontestasi dalam jabatan-jabatan yang dipilih melalui pemilu.

Pada pokoknya Mahkamah Konstitusi kemudian memberikan pertimbangan terhadap ketentuan Pasal 182 huruf g, yang didalam memaknainya harus dibaca satu nafas antara Pasal 182 huruf g (i), (ii), dan (iii), sebab pembacaan secara terpisah akan menimbulkan distorsi makna dan menghilangkan esensi makna keseluruhan ayat tersebut dan ruh yang mendasari perumusannya. 

Dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut, dapatlah diketahui bahwa ketentuan tersebut telah secara jelas membedakan konstruksi ancaman pemidanaan antara tindak pindana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih yang atasnya dikenai syarat jeda 5 (lima) tahun bagi terpidana yang telah menjalaninya dan ingin berkontestasi kembali sebagai peserta pemilu dengan tindak pidana yang ancaman pidananya maksimal 5 (lima) tahun atau lima tahun ke bawah yang perlu Mahkamah tegaskan tidak termasuk dalam cakupan yang dikenai syarat jeda 5 (lima) tahun bagi terpidana yang menjalaninya, secara gambling kemudian dapat dipahami bahwasannya angka pidana 5 (lima) tahun dalam konteks a quo yang menjadi titik temu kedua ancaman pidana tersebut tidak dapat dimaknai sebagai ancaman pidana maksimal 5 (lima) tahun, sebab dua jenis ancaman pidana dimaksud memiliki garis demarkasi yang jelas terpisah dan tidak berarsiran satu sama lain sehingga haruslah dibedakan antara ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih dengan ancaman pidana maksimal 5 (lima) tahun

Memang benar terdapat uraian sebelumnya dari Mahkamah Konstitusi yang menilai “calon kepala daerah yang pernah menjalani hukuman pidana, namun tidak diberi waktu cukup untuk beradaptasi dan membuktikan diri dalam masyarakat akan dapat  terjebak kembali dalam perilaku tidak terpuji”, termasuk dalam hal ini tak sedikit mantan narapidana yang mengulang kembali tindak pidana yang sama, dalam hal ini tindak pidana korupsi, hingga berakibat semakin jauh dari tujuan menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas, akantetapi secara prinsip negara punya kewajiban untuk menjamin hak seluruh warga negara secara adil, termasuk dalam hal ini negara sendiri juga harus mempercayai systemnya sendiri yang masih berlaku sebagai hukum positif, terkait “Pertaubatan Legal” didalam Lembaga pemasyarakatan, sehingga berarti bilamana perseorangan yang telah menjalani masa pembinaan didalam Lembaga Pemasyarakatan, maka secara formal tanpa diskriminasi harus dianggab telah siap untuk kembali ke tengah masyarakat dengan semua hak-haknya.

Kembali pada konteks Abah Anton sebagai bakal calon Walikota Malang dengan status sebagai mantan terpidana, dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, kemudian dalam putusannya majelis hakim memutuskan untuk menjatuhkan pidana penjara 2 (dua) tahun kepada Abah Anton, hingga kemudian Abah Anton telah menyelesaikan masa pidananya, sudah membayar denda dan telah pula menyelesaiakan masa pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 2 (dua) tahun, maka berarti tidak ada alasan hukum yang menghalangi Abah Anton untuk berkontestasi sebagai calon kepala daerah, sebab semestinya secara sederhana adanya polemik utamanya yang bersumber dari Pasal 182 huruf g UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 2017 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 14 ayat 2 huruf “f” Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024,  yang mengatur syarat Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, sudah dijawab sendiri oleh Mahkamah Konstitusi bahwasannya adalah beda makna  antara ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih dibandingkan dengan ancaman pidana maksimal 5 (lima) tahun, selanjutnya beda pula dengan implikasinya, sebab hanya Terpidana yang mendapatkan ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih yang terikat dengan ketentuan jeda (5) lima tahun, sedangkan Terpidana yang mendapatkan ancaman pidana maksimal 5 (lima) tahun ternyata tidak terikat dengan ketentuan masa jeda 5 (lima) tahun.

Perlu penegasan bahwa bukan dalam konteks mendukung pencalonan Abah Anton sebagai calon Walikota Malang dan menolak praktik klientelisme, akan tetapi hanya sekedar secara sederhana membaca ketentuan hukum yang sedang berlaku secara positif saja, dalam hal ini  bilamana terkait dengan ketentuan syarat Calon Walikota adalah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, maka karena Abah Anton dipidana dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU 31/1999 jo UU 20/2001 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, yang berarti tidak terikat dengan ketentuan masa jeda 5 (lima) tahun.