Oleh: Ruwiyanto, S.Kom, MM*
Isu mengenai tudingan demonstrasi yang disebut dibiayai pihak tertentu kembali menjadi sorotan publik.
Narasi ini mencuat setelah pemerintah beberapa kali melabeli aksi unjuk rasa sebagai bentuk rekayasa atau hasil intervensi kelompok tertentu.
Sejumlah pengamat menilai tudingan tersebut hanyalah strategi lama penguasa untuk melemahkan legitimasi aksi rakyat.
Ruwiyanto, mahasiswa pascasarjana Program Doktor Pendidikan Agama Islam Multikultural Universitas Islam Malang (UNISMA), menyebut stigma “demo dibiayai” merupakan alibi usang penguasa untuk menutupi bobroknya sistem pemerintahan.
Menurutnya, demonstrasi tidak lahir dari isi dompet sponsor, melainkan dari luka batin rakyat akibat kebijakan yang mencekik.
“Demonstrasi lahir bukan dari isi dompet sponsor, tetapi dari luka batin rakyat yang terus dipermainkan,” tegas Ruwiyanto dalam tulisannya yang dipublikasikan Bacamalang.com.
Ia mencontohkan, kenaikan harga kebutuhan pokok, ketidakadilan hukum, hingga maraknya kasus korupsi menjadi pemicu utama masyarakat turun ke jalan.
Tudingan bahwa aksi rakyat dibiayai justru dianggap merendahkan martabat masyarakat, karena seolah-olah suara mereka bisa dibeli dengan uang.
“Dengan menuduh ada yang membiayai demo, penguasa sedang melakukan pembunuhan karakter terhadap rakyatnya sendiri,” tambahnya.
Ruwiyanto juga menilai, retorika sponsor demonstrasi hanya dipakai untuk menutupi kegagalan sistem yang sudah tidak berjalan bagi kepentingan rakyat.
Ia mengingatkan bahwa demonstrasi merupakan hak sah warga negara yang dijamin undang-undang.
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menegaskan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Sementara itu, Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum juga menyebutkan, “Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi.”
Menurutnya, tuduhan tanpa bukti soal pendanaan demo berpotensi membungkam kebebasan rakyat sekaligus melemahkan pilar demokrasi.
“Tidak ada rezim yang bisa bertahan hanya dengan propaganda,” tulisnya, sembari mengingatkan bahwa sejarah telah membuktikan hal itu.
Sebagai solusi, ia mendorong pemerintah untuk melakukan perbaikan nyata dengan memberantas korupsi tanpa pandang bulu, menyahkan UU perampasan aset koruptor, serta menghentikan kebijakan yang menekan rakyat kecil.
Tanpa langkah konkret, tudingan demonstrasi dibiayai dinilai hanya akan menjadi lelucon pahit dari rezim yang kehilangan legitimasi.
*) Penulis: Ruwiyanto, S.Kom, MM (Mahasiswa Pascasarjana (S3) Program Studi Doktor Pendidikan Agama Islam Multikultural UNISMA).
*) Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis