Wendit, Dari Tanah Ulayat Warisan Adat Menuju Tragedi Eksploitasi Ekonomi

SUARAMALANG.COM, Kabupaten Malang – Bupati Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Kabupaten Malang, Wiwid Tuhu P, menyoroti kondisi memprihatinkan yang kini dialami kawasan Wendit. Menurutnya, kawasan yang sejak abad ke-9 telah diakui sebagai tanah perdikan, kini justru terjerat praktik eksploitasi yang merusak lingkungan, meminggirkan masyarakat adat, sekaligus mengabaikan nilai sejarahnya.

“Wendit bukan sekadar sumber air, tetapi simbol kearifan lokal, spiritualitas, dan ekologi yang sudah bertahan lebih dari seribu tahun. Namun, fakta saat ini memperlihatkan eksploitasi ekonomi yang mengikis warisan itu,” tegas Wiwid, Selasa (10/9).

Sejarah Wendit sendiri tercatat dalam Prasasti Balingawan pada 891 Masehi, di masa Kerajaan Medang yang dipimpin Mpu Sendok. Kala itu, Wendit ditetapkan sebagai sima atau tanah perdikan—status yang membebaskannya dari pajak dan memberi hak otonomi pengelolaan kepada masyarakat setempat. Selama berabad-abad, Wendit menjadi pusat ritual, peribadatan, sekaligus sumber kehidupan yang dilestarikan dengan kearifan lokal.

Namun, sejak 1978, Wendit mulai mengalami eksploitasi besar-besaran. PDAM Kota dan Kabupaten Malang tercatat memasang pipa dan broncap untuk mengalirkan air ke wilayah perkotaan dengan debit hingga 900 liter per detik. Padahal, kata Wiwid, kapasitas wajar seharusnya hanya sekitar 200–480 liter per detik.

“Data penelitian bahkan menunjukkan eksploitasi terus berulang, termasuk pada 2015, tanpa memperhitungkan dampak sosial maupun ekologis,” ujarnya.

Kondisi semakin runyam pada 2019, ketika Pemerintah Kabupaten Malang menerbitkan sertifikat hak milik atas kawasan Wendit. Menurut Wiwid, kebijakan tersebut sama sekali tidak mengindahkan sejarah Wendit sebagai tanah ulayat.

“Ini bentuk land grabbing yang dilegalkan. Hak masyarakat adat diabaikan, sementara aset air dijadikan komoditas komersial oleh PDAM. Ironisnya, masyarakat sekitar justru kesulitan mendapat air bersih,” tegasnya.

Bupati LIRA Malang, Wiwid Tuhu Prasetyanto, S.H., M.H.

Tak hanya aspek ekologis, akses spiritual masyarakat pun terbatasi. Pembangunan tembok tinggi serta penerapan tiket masuk yang mahal membuat warga semakin sulit mendatangi punden, petilasan, maupun pendopo untuk melakukan ritual seperti nyekar. Tradisi turun-temurun yang telah berlangsung ratusan tahun pun kini terancam punah.

Lebih jauh, Wiwid menilai kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sudah terlihat jelas. Debit air menurun, vegetasi terganggu, dan habitat kera ekor panjang semakin rusak sehingga satwa itu kerap masuk ke permukiman warga.

“Kalau tren ini dibiarkan, tahun 2025 Wendit bisa menghadapi krisis lebih parah. Air akan semakin menyusut, konflik sosial bisa pecah, sementara budaya dan spiritualitas masyarakat semakin terpinggirkan,” ungkapnya.

LIRA Kabupaten Malang mendesak pemerintah untuk mengubah arah kebijakan. Menurut Wiwid, pengelolaan Wendit seharusnya berbasis pada pelestarian budaya dan ekologi dengan pengakuan resmi terhadap hak ulayat masyarakat adat.

“Sudah saatnya pemerintah berhenti memandang Wendit hanya sebagai sumber ekonomi. Wendit harus dikembalikan pada khittahnya sebagai tanah perdikan—sumber kehidupan yang melindungi manusia dan alam sekaligus,” pungkasnya.

Pewarta : *Slamet K

Exit mobile version