SUARAMALANG.COM, Jakarta – Ketegangan bersenjata antara Thailand dan Kamboja kembali memanas, menewaskan sedikitnya 12 orang dan memaksa lebih dari 40.000 warga Thailand mengungsi dari wilayah perbatasan.
Bentrok berdarah terjadi di sekitar area sengketa yang mengelilingi Candi Hindu-Khmer Ta Muen Thom, dengan kedua negara saling menuduh sebagai pihak pemicu konflik.
Militer Thailand menyebut Kamboja melakukan provokasi dengan menerbangkan drone dan menembaki pasukan Thailand di dekat candi, sebelum mengerahkan senjata berat termasuk peluncur roket.
Sebaliknya, Kementerian Pertahanan Kamboja menyatakan bahwa pasukannya hanya membela diri terhadap “pelanggaran teritorial yang tidak beralasan” oleh militer Thailand.
“Pasukan Kamboja bertindak dalam koridor pembelaan diri, menanggapi pelanggaran kedaulatan oleh pasukan Thailand,” tegas pernyataan resmi Kamboja.
Akibat bentrokan tersebut, 11 warga sipil dan satu personel militer Thailand tewas di tiga provinsi terdampak, yakni Surin, Ubon Ratchathani, dan Sisaket.
Korban termasuk anak-anak berusia 8 dan 15 tahun, menurut laporan resmi militer Thailand yang juga mencatat lebih dari 14 orang mengalami luka-luka.
Militer Thailand telah meluncurkan serangan udara menggunakan jet tempur F-16 ke wilayah Kamboja, menghantam target-target militer yang diklaim sebagai sumber tembakan.
“Kami menggunakan kekuatan udara sesuai rencana untuk menghancurkan target militer yang telah diidentifikasi,” kata Richa Suksuwanon, juru bicara militer Thailand.
Kamboja mengutuk keras penggunaan kekuatan oleh Thailand, menyebutnya sebagai “agresi militer brutal” yang mengancam kedaulatan dan stabilitas regional.
“Thailand telah menjatuhkan dua bom ke jalan utama di wilayah Kamboja. Ini pelanggaran berat terhadap integritas kami,” bunyi pernyataan Kementerian Pertahanan Kamboja.
Lebih lanjut, dua provinsi di Kamboja dilaporkan menjadi sasaran tembakan artileri dari pasukan Thailand, memperburuk situasi di lapangan.
Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, menyatakan bahwa negaranya selalu memilih jalur damai, namun kali ini tidak punya pilihan lain.
“Kamboja ingin menyelesaikan ini secara damai, tapi kami harus merespons dengan kekuatan bersenjata terhadap agresi bersenjata,” ujar Hun Manet.
Thailand merespons dengan menutup seluruh pos lintas batas di bawah komando Angkatan Darat Kedua dan melarang aktivitas wisatawan di kawasan tersebut.
“Semua wisatawan dilarang memasuki wilayah perbatasan hingga pemberitahuan lebih lanjut,” tegas pernyataan resmi dari partai penguasa Pheu Thai.
Sementara itu, krisis diplomatik turut memburuk setelah Thailand memulangkan duta besarnya dari Phnom Penh dan menyatakan akan mengusir diplomat Kamboja di Bangkok.
Sebagai balasan, Kamboja melarang tayangan film dan serial Thailand, menghentikan impor buah, sayuran, bahan bakar, serta memutus akses internet lintas negara.
Kedua negara telah memperkuat kehadiran militer di sepanjang 817 kilometer perbatasan yang masih menjadi sengketa sejak era kolonial Prancis.
Konflik terbaru ini juga memperdalam krisis politik internal di Thailand, menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi yang menskors Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra.
Penangguhan tersebut terjadi setelah bocornya rekaman telepon pribadi Paetongtarn dengan mantan PM Kamboja, Hun Sen, di mana ia menyebut Hun Sen sebagai “om” dan mengkritik jenderal militer Thailand.
Rekaman itu memicu amarah publik dan mendorong petisi pemakzulan, serta memperlemah koalisi pemerintah yang kini ditinggalkan oleh salah satu mitra konservatif utama.
Plt. Perdana Menteri Thailand, Phumtham Wechayachai, menyatakan bahwa situasi perbatasan sangat sensitif dan harus ditangani dengan hati-hati.
“Kita harus mengikuti hukum internasional dalam setiap langkah,” tegas Phumtham kepada media.
Meski konflik belum berkembang menjadi perang skala penuh, pengamat menilai absennya kepemimpinan kuat di kedua negara dapat memperpanjang krisis ini.
Hun Manet dinilai belum memiliki legitimasi penuh, sementara Thailand terjebak dalam ketidakstabilan politik domestik yang menghambat diplomasi efektif.
Dengan eskalasi yang terus meningkat dan korban sipil yang bertambah, komunitas internasional menyerukan kedua negara untuk segera melakukan gencatan senjata dan kembali ke meja perundingan.
Pewarta : M.Nur