SUARAMALANG.COM, Kabupaten Malang – Perum Jasa Tirta I (PJT I) sejak pertengahan 2025 mulai menerapkan sistem pembayaran non-tunai di Gerbang Kawasan Wisata Bendungan Lahor Karangkates, penghubung Kabupaten Malang dan Kabupaten Blitar.
Kepala Divisi Operasional Bisnis PJT I, Inni Dian Rohani, menjelaskan bahwa penerapan sistem tersebut dilakukan bertahap untuk kendaraan roda empat dan dua.
“Untuk kendaraan roda empat atau mobil pembayaran non tunai sudah mulai diberlakukan sejak 1 Juli 2025 lalu. Namun khusus roda dua kami baru melakukan sosialisasi dan baru akan mulai diberlakukan per 5 Januari 2026 mendatang,” ujar Dian, Selasa (15/7/2025).
Ia menegaskan, sistem ini diterapkan untuk mendukung keamanan objek vital bendungan sekaligus mencatat jumlah, jenis, dan identitas kendaraan yang melintas. “Dengan pemberlakuan pembayaran non tunai ini untuk memudahkan proses pembayaran. Tentunya juga akan lebih efisien dibandingkan melalui pembayaran tunai,” jelasnya.
Adapun tarif yang diberlakukan bagi kendaraan umum adalah Rp1.000 untuk roda dua dan Rp3.000 untuk roda empat. Bagi warga sekitar yang melintas setiap hari, PJT I menyiapkan skema berlangganan dengan tarif Rp5.000 per bulan untuk pelajar, Rp15.000 untuk pengguna roda dua umum, dan Rp50.000 untuk kendaraan roda empat.
“Sejak Desember 2024 kami sudah melakukan sosialisasi dan uji coba. Artinya tidak mendadak ini diberlakukan,” tutur Dian. Ia menambahkan, pengguna yang telah memiliki kartu tol elektronik bisa langsung menggunakannya tanpa perlu membuat kartu baru.
Namun, kebijakan ini kembali menjadi sorotan publik setelah muncul video viral yang memperlihatkan petugas melakukan penarikan tarif di jembatan Bendungan Lahor Karangkates. Dalam video tersebut, pengguna kendaraan roda dua dan empat diminta membayar antara Rp2.000 hingga Rp4.000, dan hal itu memicu gelombang protes di media sosial.
Warganet mempertanyakan dasar hukum pungutan tersebut karena jembatan Lahor merupakan fasilitas publik milik negara, bukan jalan tol atau akses wisata berbayar.
Menanggapi dinamika ini, Bupati LIRA Kabupaten Malang, Wiwid Tuhu P, SH., MH., menilai perlunya penjelasan publik dan transparansi terkait dasar hukum pungutan yang diberlakukan oleh PJT I.
“Secara prinsip, PJT I tidak memiliki nomenklatur usaha berupa jalan pintas atau jalan bebas hambatan berbayar. Maka perlu ada penjelasan publik: mengapa dikenai biaya, apakah dianggap wisata, bagaimana modal pembangunan dan perawatannya, serta ke mana dana masyarakat itu disalurkan,” tegas Wiwid.
Ia menambahkan, kebijakan publik semestinya berlandaskan transparansi dan akuntabilitas. “Yang paling penting adalah kejelasan sistem pertanggungjawaban dan informasi bagi masyarakat yang telah membayar. Jika semua dilakukan terbuka dan sesuai aturan, maka tidak akan ada kesalahpahaman,” ujarnya.
Berdasarkan regulasi, Bendungan Lahor–Karangkates berada di bawah pengelolaan Perum Jasa Tirta I (PJT I), BUMN yang dibentuk melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 1990, dan diperbarui lewat PP Nomor 46 Tahun 2010. Dalam aturan tersebut, PJT I memiliki tanggung jawab utama dalam pengelolaan sumber daya air serta diizinkan melakukan usaha non-air seperti wisata, pelatihan, dan konsultansi.
Namun, tidak terdapat nomenklatur yang secara spesifik mengatur pengelolaan jalan tembus berbayar sebagaimana jalan tol.
Fenomena pungutan di Jembatan Lahor Karangkates ini kembali menegaskan pentingnya prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan fasilitas publik. Pemerintah diharapkan memastikan setiap bentuk transformasi digital, termasuk sistem pembayaran non-tunai, benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat, bukan menjadi beban tambahan bagi pengguna jalan umum.





















