SUARAMALANG.COM, Kabupaten Malang – Upaya pemerintah dalam memberantas mafia tanah yang diatur dalam Permen ATR/ BPN Nomor 15 Tahun 2024, Pasal 12 ayat 2, yang menyatakan media massa mempunyai peranan penting dalam upaya membantu pemerintah dalam menangani kasus – kasus mafia tanah.
Namun, mafia tanah di sejumlah daerah masih marak dan banyak terjadi, seperti di Kabupaten Malang. Seperti yang menimpa seorang warga Karangtengah, Desa Karangwidoro, Kecamatan Dau, bernama Isa Kristina, dimana rumah dan lahan tanahnya dikuasai mafia tanah dan disertifikatkan dengan dalih punya hutang, padahal sudah lunas dengan bunganya.
Kasusnya kini dalam proses gugatan di PN Kepanjen dengan tergugat mafia tanah di Kabupaten Malang bernama Gun, dan selesai
Sementara itu, di Desa Mangliawan Kecamatan Pakis, sejumlah lahan milik negara dan milik warga dirampas kemudian dikuasai mafia tanah atas peranan perangkat desa setempat.
Padahal Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2018, tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, diperkuat oleh Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2018, sudah jelas dan tegas terkait status maupun peralihan lahan atau tanah milik negara dan perorangan.
Dalam prakteknya oknum perangkat desa maupun ATR/BPN bersama mafia tanah secara sistematis melakukan penguasaan tanah, dengan melanggar prosedur umum pendaftaran tanah.
Perangkat desa sebagai bagian dari aparat pemerintah pada tingkatan yang paling bawah memegang peran penting dalam membantu tercapainya kepastian hukum mengenai hak atas tanah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 juncto Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, kepala desa memiliki tanggung jawab strategis untuk mendukung pelaksanaan pendaftaran tanah.
Hal itulah kemudian dimanfaatkan perangkat desa Mangliawan Kecamatan Pakis dalam menguasai hak atas tanah tersebut dengan melakukan perubahan peta bidang dan perubahan NOP (Nomor Obyek Pajak). Ini dilakukan sebagai upaya agar perubahan status tanah berjalan mulus dan lancar dengan mengatasnamakan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama keluarga perangkat desa dan kroninya.
Padahal dalam KUHP diatur Pasal 264 pemalsuan akta otentik dapat diancam hingga 8 tahun penjara.
Objek yang disalahgunakan perangkat desa Mangliawan dan sudah beralih fungsi tersebut tepat di sebelah timur Sungai Kalisari, perbatasan antara Kabupaten Malang dan Kota Malang.
Data ini sudah terkonfirmasi dan terbukti dengan jelas adanya usulan pendaftaran tanah tersebut, sudah ditolak oleh pejabat Sumber Daya Air Kabupaten Malang, dan diminta untuk izin kepada instansi Sumber Daya Air Provinsi Jatim sesuai kewenangan, yang berbatasan dengan tanah irigasi. Dalam peraturan Bupati Malang terkait dengan sepadan sungai jelas-jelasbada unsur pelanggaran.
Hal ini dikuatkan dengan adanya perbedaan peta bidang, sebelum dan setelah sertikat tersebut diterbitkan tahun 2024 oleh BPN Kabupaten Malang.

Upaya penolakan warga sudah dilakukan, beberapa waktu yang lalu, bahkan dimintai keterangan oleh Kejari Kabupaten Malang. Namun, hingga kini belum ada kelanjutan perkara tersebut.
Sejumlah warga mengaku geram dan marah atas tindakan perangkat Desa Mangliawan itu, lantaran dibelakang tanah tersebut ada tanah kas desa, yang menurut tokoh masyarakat setempat, upaya perangkat desa yang lama almarhum Subakir, untuk membuat akses jalan menuju tanah kas desa.
Caranya dengan merubah peta bidang tanah irigasi untuk akses jalan agar masyarakat bisa memanfaatkan untuk fasilitas umum, seperti ekonomi kerakyatan.
” Hal ini diperparah dengan adanya bangunan di lahan tersebut, dengan mengorbankan gapura batas wilayahpun dibongkar oleh oknum tersebut, agar akses jalan menuju tanah yang dikuasai lebih lebar, ” kata Suwarno, warga Desa Mangliawan , yang juga pegawai SDA Kabupaten Malang
Pejabat yang Terlibat Bisa Dipidana
Sementara itu, Bupati LIRA Wiwid Tuhu P, SH, MHA menyesalkan ulah tindakan perangkat desa dan mafia tanah tersebut. Masih adanya perkara sengketa tanah yang penuh rekayasa dengan dugaan melibatkan peran oknum notaris, dan atau oknum perangkat desa, dan atau oknum pejabat lainnya, diperkuat dengan setidaknya dugaan kelalaian BPN telah menggambarkan suatu pola terstruktur melanggar hukum yang sulit untuk diberantas.
“Sebab kolaborasi Pemalsuan Dokumen dan atau Penggelapan data informasi sampai penerbitan atau perubahan sertifikat oleh BPN dengan dasar data yang janggal, terbukti masih saja terjadi, ” kata Wiwid yang juga pengacara ini
Pada dasarnya di setiap peristiwa hukum, menurut Bupati LIRA, setidaknya telah terjadi setidaknya dua kejahatan sekaligus, yakni pemalsuan dokumen dengan mengubah peta bidang dan Nomor Objek Pajak (NOP). Penggelapan karena membuat tidak terang asal usul dan hak atas tanah untuk kemudian dikuasai, dan memang celakanya BPN sebagai penjaga gawang proses legalisasi hak atas pertanahan, seringnya pasif untuk mengurai permasalahan, atau bahkan ada saja oknum yang justru membantu atau menutup mata terhadap kejanggalan-kejanggalan data dan atau perolehannya.
Sebagai contoh, tetap saja diterbitkan sertifikat di lahan bermasalah yang Sudah ada penolakan resmi dari pejabat Sumber Daya Air di Desa Mangliawan, bagaimana mungkin sertifikat bisa terbit meskipun kuat dugaan lokasinya melanggar Peraturan Bupati tentang batas sempadan sungai. Ini menunjukkan adanya kelalaian atau bahkan kesengajaan dalam melanggar aturan utama tentang pendaftaran tanah (Permen ATR/BPN No. 6/2018 dan Inpres No. 2/2018).
” Dalam kontek ini menjadi ada dugaan kuat, Oknum perangkat desa, yang seharusnya menjadi ujung tombak pelayanan masyarakat, justru menyalahgunakan wewenangnya, yang tindakannya mengalihkan tanah untuk kepentingan pribadi, atau kroninya merupakan bentuk nepotisme yang merusak tatanan pemerintahan yang bersih dan berintegritas, ” tambahnya.
Terlebih lagi, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan Permen ATR/BPN Nomor 15 Tahun 2024, yang bahkan melibatkan media dan polisi dalam Satgas Anti Mafia Tanah.
Pewarta: *Luki





















