Opini  

MEMILU EXTREM & UGAL – UGALAN

Oleh : M. Nur Sofiyan
Wakil sekretaris PC Muhammadiyah Tumpang-Kabupaten Malang

Pemilu “Super Istimewa”
Pemilu tahun 2024, adalah pesta demokrasi yang “super gila”. Rakyat benar-benar “pesta” menikmati pesta demokrasi lima tahunan kali ini. Memilih calon presiden dan wakil presiden, menentukan calon anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan calon anggota DPRD Kabupaten/Kota serta DPD dengan riang gembira.

Stigma rakyat terhadap demokrasi saat ini sungguh berbeda dengan periode sebelumnya. Membangun citra dan popularitas saja tidak cukup untuk menentukan simpati rakyat. Modal utama adalah duit. Politik kemanusiaan, politik sosial, politik kerakyatanpun hanya isapan jempol belaka. Yang ramai hanya politik keuangan.
Yang punya modal besar itulah yang mendapatkan “biting” paling besar. Rakyat kini tampaknya sudah tidak peduli dengan investasi calon yang diberlakukan jauh sebelumnya. Hanya calon dengan modal besar, prosentasi melenggang dan memenangkan perlombaan peluangnya jauh lebih besar.
Bagi calon dengan modal pas-pasan, cukup menunggu keberuntungan. Itupun kalau benar-benar beruntung, walau kansnya tipis.

Fenomena di lapangan menjelang coblosan tanggal 14 Pebruari 2024 sungguh istimewa. Hiruk pikuk rakyat dalam menyikapi pemilu luar biasa. Yang kelihatan paling sibuk adalah tim relawan atau sebutan lain, tim sukses.

Tim sukses dalam pemilu kali ini benar-benar merajai. Mereka super sibuk, berkeliling, bersilaturahmi dari pintu ke pintu, menggalang dukungan masa, melakukan pendataan dan mencari target. Mengumpulkan foto copy KTP lalu kemudian mendistribusikan dan menyalurkan “sesuatu” agar pemilih menentukan arah.

Drop-dropan paving merebak dimana-mana.
Peredaran rupiah menjelang coblosan, bahkan di masa tenangpun semakin terang-terangan, sungguh di luar nalar. Mereka seakan tidak peduli dengan keberadaan Bawaslu.

Sebagai contoh misalnya, proses pemilihan untuk anggota DPR. Mulai dari tingkat bawah sampai pusat. Yang terjadi di lapangan adalah politik transaksional. “Berani berapa, kupilih dia”. Ada istilah lain yang mulai populer. Misalnya: Lebih utama isi piring dari pada sekadar jalan paving.
Rakyat kini cenderung open minded. Mereka terang-terangan dan lebih terbuka menerima apa saja dari calon, apalagi sekelas caleg. Tidak peduli partai kecil, menengah, atau yang dikenal luas sebelumnya. Pahitnya lagi, yang menabur benih sebelumnyapun tidak cukup dijadikan jaminan untuk menang.
Selevel calon incumbent pusing tujuh keliling. Investasi yang dibangun jauh-jauh hari harus kandas dengan keadaan. Jika pergerakan kalah cepat, mereka akan kalah dalam hitungan sesaat.

Peredaran sembako gratis, pengobatan gratis, sampai pembagian “vitamin” banyak ditemukan dimana-mana. Sosialisasi calon melalui banner, stiker, baik di tempat tempat strategis dalam pemilu kali ini sangat marak. Tapi, bagaimanapun juga maraknya banner di jalan-jalan, gang-gang, hingga sosialisasi langsung dengan metode cara mencoblos yang benar pun tidak cukup untuk menjadi pemenang.

Adalah keuangan yang menjadi pembeda. Nyata ada, pilihan tentu berbeda. Anda berani berapa, kita ambil dan memilih anda. Dan, apa yang terjadi: di TPS calon akan terisi suara.
Menjadi calon apa saja, caleg sekalipun harus punya modal gede. Kalau hanya pas-pasan, jangan pernah berharap akan mendapatkan suara besar.
Pada perkembangannya: rakyat kini benar-benar pesta pora. Suka cita menikmati kultur demokrasi yang kian berbeda. Pada saatnya: demokrasi kita semakin luar biasa. Bukan lagi money politik tetapi transaksional layaknya le lang harga surat suara untuk dipilih menjadi DPR RI, DPRD PROVINSI dan DPRD Kabupaten/Kota.