“Kebaikan untuk masyarakat itu bergantung kepada watak masyarakat dan pendidikan masing-masing orang”, sepenggal kalimat peninggalan dari Tan Malaka dalam catatan Matrialisasi Dialog Logika (MADILOG) tersebut, tepat kiranya untuk menggambarkan bagaimana sosok pemimpin terbaik yang akan dipilih oleh rakyat, dengan mekanisme demokrasi didalam bingkai negara hukum, sebab pastinya kwalitas pemimpin yang akan terpilih menyesuaikan dengan watak masyarakat yang akan memilihnya.
Hakikat negara hukum pada pokoknya selalu berkaitan dengan ide tentang supremasi hukum yang selaras dengan ide kedaulatan rakyat dan atau demokrasi, dalam hal ini berarti hukum harus menjadi dasar bagi setiap perbuatan, yang mana hukum sendiri memiliki kedudukan tertinggi dibandingkan apapun dalam tata pembentukan dan menjalankan negara, sedangkan kedaulatan rakyat yang bisa diartikan sebagai demokrasi adalah suatu system yang mendudukkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan hal mana point paling utama adalah berarti harus didasarkan pada partisipasi rakyat, minimal dengan memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menyatakan pendapat, khususnya dalam hal menentukan pemimpin dengan harapan pemimpin yang telah dipilih langsung oleh rakyat,nantinya akan dapat bekerja sesuai dengan kehendak rakyat, sebab harapannya pemimpin tersebut senantiasa membawa aspirasi dari rakyat pada periode kepemimpinannya.
Berkaca dari rasionalisasi (yang meski juga bisa jadi utopis) tersebut, dapatlah dipahami bahwasannya Pemilihan umum termasuk tapi tidak terbatas pemilihan kepala daerah, bagaimanapun kurang lebihnya adalah merupakan suatu sarana bagi rakyat untuk mengimplementasikan kedaulatanya, sebab pada masa pemilihan umum inilah baik secara de fakto (secara kenyataan) maupun secara de jure (secara hukum), rakyat benar-benar memiliki peran tertinggi bahkan diatas tokoh-tokoh yang hendak maju sebagai calon pemimpin.
Menginsyafi situasi masa pemilihan umum yang nyata meletakkan rakyat benar-benar memiliki peran tertinggi, maka sudah sewajarnya bilamana pada masa-masa tersebut hukum memberikan khidmat penghormatannya kepada rakyat, dengan tetap berlaku fair dan menjauhkan diri dari kesempatan untuk digunakan sebagai alat kampanye hitam (black campaign), digunakan sebagai sarana menjatuhkan pesaing didalam pemilihan umum, hanya demi keuntungan kemenangan dipilih sebagai pemimpin, sebab bilamana hukum bisa digunakan untuk kepentingan politik praktis semacam itu, bisa diartikan hukum telah mewujudkan diri sebagai senjata makan tuan, yang setidaknya mengganggu dialektika rakyat, untuk menjalankan peran tertingginya, untuk menentukan pemimpin yang sesuai dengan kehendaknya, meski dengan segala catatan baik maupun buruk yang ada.
Memang harus disadari, bahwa mekanisme pemilihan langsung untuk memilih pemimpin, pada kenyataannya belum menjamin bahwasannya pemimpin yang terpilih nantinya adalah pemimpin yang berkwalitas tinggi dan bekerja benar-benar untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat, sebab sebaliknya bisa saja yang terpilih justru pemimpin yang pandai memanipulasi, cakap hanya soal membangun citra diri, dan hanya berlaku demi kepentingan diri maupun kelompok yang dikehendakinya sendiri, akantetapi begitulah adanya, sebaik atau seburuk apapun pemimpin yang terpilih melalui mekanisme pilihan langsung secara fair, mau tidak mau akan menjadi pemimpin yang terlegitimasi sebagai manifestasi kedaulatan rakyat, dan selaras dengan pendapat Tan Malaka, mengenai Kebaikan untuk masyarakat itu bergantung kepada watak masyarakat, maka pemimpin yang terpilih dalam bingkai kedaulatan rakyat, akan mencerminkan bagaimana sebenarnya kondisi dan keadaan masyarakat itu sendiri, akan tetapi yang terpenting mengenai pelaksanaan pemilihan umum tersebut, adalah bahwa rakyat mendapatkan kedaulatannya, dan itu bersifat pokok, sehingga hukum sekalipun seharusnya tidak boleh mengganggu.
Sebagai gambaran, perihal hukum yang dalam hal ini berarti proses penegakan hukum, untuk jangan sampai menginterupsi proses kedaulatan rakyat adalah seperti pada contoh perkara yang tercatat dan mudah diingat khususnya oleh masyarakat Malang, yang mana pernah pada suatu kala ditahun 2018, yang mana pada agenda pemilu/peristiwa pemilihan kepala daerah (pemilihan Walikota/Wakil Walikota) di Kota Malang pada, waktu itu mengemuka tiga pasangan calon, akantetapi ternyata pada tahapan pemilu sedang berlangsung, tetiba karena ada penanganan perkara dugaan tindak pidana, terhadap dua dari tiga pasangan calon tersebut, maka sedemikian gencar kampanye untuk menjatuhkan calon yang sedang menjalani proses hokum tersebut, dan hasilnya publik sudah langsung bisa meramalkan, bahwa yang akan memenangi pemilihan Walikota/Wakil Walikota adalah hanya calon yang tidak sedang diproses hukum, dan lantaran hal tersebut, hukum pula yang akhirnya dituding sebagai penyebab kekalahan calon Walikota yang sedang berperkara, sebab kedua calon tersebut menerima kampanye hitam begitu derasnya, sampai jatuh elektabilitasnya.
Berangkat dari kesadaran akan realitas, yang mana hukum ternyata rawan menjadi alat kepentingan politik kampanye hitam, maka sudah tepat kiranya kemudian pada tahun 2023, Jaksa Agung menerbitkan Instruksi Jaksa Agung (InsJA) No.6 Tahun 2023 tentang “Optimalisasi Peran Kejaksaan Republik Indonesia dalam Mendukung dan Mensukseskan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak Tahun 2024 sebagai langkah antisipasi dipergunakannya hukum sebagai alat politik praktis”, yang hal ini selaras dengan komitmen pelaksanaan memorandum Jaksa Agung Nomor 128 tentang optimalisasi peran intelijen Kejaksaan dalam pelaksanaan Pemilu Serentak tahun 2024, agar jajaran korps adhyaksa melakukan langkah-langkah sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing dalam mendukung dan mensukseskan penyelenggaraan Pemilu.
Kemudian senada dengan Jaksa Agung, Kapolri juga menerbitkan Surat Telegram Kapolri Nomor ST/2407/X/Huk.7.1./2023 tentang “netralitas polri dalam pemilu” dan Surat Telegam (ST) nomor: ST/1160/V/RES.1.24.2023 tentang “penundaan proses hukum terkait pengungkapan kasus tindak pidana yang melibatkan peserta Pemilu 2024”, yang tentu tak lain tujuan dari penerbitan surat-surat tersebut kaitannya adalah dalam rangka menjaga kondusifitas pada tahapan-tahapan kegiatan pemilu, agar hukum tidak dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan politik pihak-pihak tertentu, atau setidak-tidaknya agar tidak terjadi penegakan hukum dijadikan bahan kampanye hitam (black campaign), atau dalam hal ini tidak ada calon yang menjadikan suatu proses penegakan hukum sebagai isu untuk menjatuhkan calon yang lain.
Bahwa dengan adanya ketentuan hukum untuk diikuti oleh segenap aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan sebagaimana tersebut, hingga kiranya dapat disimpulkan bahwasannya “didalam masa berjalannya tahapan pemilu, setiap penanganan perkara yang dirasa akan melibatkan kontestan pemilu untuk ditangguhkan”, maka menjadi semakin tegas kedudukan rakyat sebagai pemilik peran tertinggi didalam demokrasi, khususnya pada masa pemilihan pemimpin untuk diberikan kewenangan menjadi kanal aspirasi rakyat melalui proses peralihan secara damai, teratur, dan sesuai dengan mekanisme yang dijamin dan diatur oleh konstitusi.
Sehingga oleh sebab itu, saat ini yang mana tahapan pilkada serentak tahun 2024 sedang berjalan, maka sudah menjadi hukum untuk agar bilamana terdapat personal yang sedang ikut berkontestasi didalam pemilihan umum, akantetapi ternyata ada perkara pidana yang patut diduga berkaitan dengan personal yang bersangkutan, maka secara hukum sudah sepatutnya untuk setidak-tidaknya sementara dihentikan.