SUARAMALANG.COM, Bandung – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran kini menjadi sorotan nasional setelah ribuan pelajar keracunan massal akibat konsumsi makanan dari dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Tragedi ini terjadi di berbagai wilayah, termasuk Bandung Barat, Mamuju, dan Ketapang, dengan korban nasional mencapai lebih dari 6.000 pelajar hingga September 2025.
Di tengah krisis ini, program MBG tetap akan berlanjut karena telah dikunci dalam APBN 2026 dengan anggaran Rp355 triliun, yang membuat perubahan skema menjadi bantuan tunai sulit dilakukan.
Anggota DPR Fraksi PDIP, Charles Honoris, menyarankan agar dana MBG disalurkan langsung ke orang tua agar mereka bisa memasak sesuai kebutuhan anak, namun usulan ini ditolak oleh Kepala BGN, Dadan Hindayana.
“Dana MBG sebaiknya disalurkan langsung ke orang tua agar mereka bisa memasak sesuai kebutuhan anak,” kata Charles Honoris, menekankan urgensi keselamatan anak.
BGN menegaskan skema MBG melalui dapur SPPG tetap dipertahankan untuk menjaga standar gizi dan distribusi seragam bagi seluruh peserta.
Menko PMK, Muhaimin Iskandar, menyatakan pemerintah fokus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem MBG, namun belum ada rencana menghentikan program sementara.
“Tidak ada rencana penyetopan, saya belum mendengar. Tapi semua kejadian harus dijadikan bahan evaluasi,” kata Muhaimin pada 24 September 2025.
Publik menilai keputusan melanjutkan MBG meski terjadi keracunan massal menunjukkan konflik antara anggaran besar dan keselamatan anak-anak, dan memicu kritik terhadap prioritas pemerintah.
Sejak Januari 2025 hingga September, BGN mencatat 4.711 kasus keracunan MBG, sementara JPPI mencatat lebih tinggi, yakni 6.452 kasus, menandai skala krisis yang jauh lebih besar dari yang dilaporkan resmi.
Tragedi di Bandung Barat menjadi perhatian utama karena menelan korban 1.171 pelajar dalam tiga hari, sehingga menimbulkan pertanyaan serius tentang pengawasan dapur SPPG, distribusi makanan, dan standar keselamatan.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menekankan kasus ini memenuhi kriteria bencana nasional non-alam karena melibatkan korban besar dan dampak sosial-ekonomi signifikan.
“Kondisi yang tak normal ini mestinya pemerintah harus menetapkan sebagai KLB dan program dihentikan sementara untuk evaluasi menyeluruh,” kata Ubaid pada 21 September 2025.
Hingga saat ini, sebagian besar korban masih menjalani perawatan di GOR Cipongkor, Puskesmas Citalem, dan RSUD Cililin, sementara analisis laboratorium atas sampel makanan dan muntahan sedang dilakukan.
Publik menyoroti perlunya pemerintah meninjau kembali mekanisme MBG, karena keselamatan anak-anak menjadi taruhan utama, sementara alokasi anggaran triliunan rupiah tampak lebih dominan dalam pengambilan keputusan.
Jika evaluasi dan reformasi program tidak segera dilakukan, risiko korban tambahan tetap tinggi, dan kepercayaan masyarakat terhadap program pemerintah akan semakin menurun drastis.
Pewarta : M.Nan