SUARAMALANG.COM, Jakarta – Anggota DPRD Jawa Timur dari Fraksi PDI Perjuangan, Hasanuddin, resmi menggugat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan ini diajukan setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana hibah untuk kelompok masyarakat (Pokmas) di Jawa Timur.
Gugatan tersebut teregister dengan nomor perkara 126/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL. Berdasarkan data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), permohonan itu diajukan pada Rabu, 1 Oktober 2025, dan sidang perdana dijadwalkan Senin, 13 Oktober 2025. Dalam berkas perkara, Hasanuddin tercatat sebagai pemohon, sedangkan Ketua KPK Republik Indonesia sebagai termohon.
Ketua KPK Setyo Budiyanto menegaskan pihaknya akan menghadapi gugatan Hasanuddin secara profesional dan sesuai hukum.
“KPK merespons sesuai prosedur yang dikuasakan kepada Biro Hukum,” kata Setyo dalam keterangannya, Jumat (10/10/2025).
Hasanuddin diketahui merupakan politikus muda asal Gresik yang baru menjabat setahun lebih sebagai anggota DPRD Jatim. Ia diduga berperan sebagai koordinator lapangan (korlap) dalam jaringan besar korupsi dana hibah Pokmas yang juga menyeret mantan Ketua DPRD Jatim periode 2019–2024, Kusnadi.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan, Kusnadi diduga menerima jatah hibah dari program pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD dengan total nilai mencapai Rp398,7 miliar selama empat tahun (2019–2022). Dana tersebut disalurkan melalui sejumlah korlap, termasuk Hasanuddin.
Dalam periode itu, Hasanuddin disebut menyalurkan jatah hibah Kusnadi ke enam daerah, yaitu Gresik, Bojonegoro, Trenggalek, Pasuruan, Malang, dan Pacitan. Dari total alokasi tersebut, Hasanuddin diduga mengelola dana sekitar Rp30 miliar dan menerima fee awal Rp11,5 miliar atau sekitar 30 persen dari total hibah yang ia kendalikan.
“Pada rentang 2019–2022, saudara KUS telah menerima komitmen fee secara transfer melalui rekening istrinya dan staf pribadinya, atau secara tunai, yang berasal dari beberapa korlap dengan total mencapai Rp32,2 miliar,” ungkap Asep.
Selain Hasanuddin, KPK juga menetapkan lima korlap lain sebagai tersangka pemberi suap, antara lain Jodi Pradana Putra, yang menyerahkan fee Rp18,6 miliar atau 20 persen dari dana hibah Rp91,7 miliar; serta Sukar, Wawan Kristiawan, dan A. Royan, yang masing-masing menyetor fee Rp2,1 miliar dari alokasi Rp10 miliar.
Menurut Asep, sistem “ijon” menjadi praktik umum dalam jaringan ini. Para korlap berlomba membeli jatah dana hibah dari aspirator DPRD sebelum proposal resmi disetujui, untuk kemudian mengatur sendiri pelaksanaan proyek dengan anggaran yang sudah dipotong.
“Kalau dari anggaran 100 persen hanya 55 persen untuk masyarakat, itu pun belum dikurangi keuntungan pelaksana. Artinya, yang benar-benar digunakan hanya sekitar 40 persen,” jelas Asep.
Hasanuddin sempat disebut masih aktif sebagai korlap ketika ditetapkan sebagai tersangka pada 5 Juli 2024, sebelum kemudian maju sebagai calon anggota DPRD Jatim dan terpilih. Ia akhirnya mengundurkan diri setelah resmi ditahan KPK pada 2 Oktober 2025.
“Beliau memang sudah lama berstatus tersangka. Maka dia sportif, membuat surat pengunduran diri meski belum dilantik. Namun asas praduga tak bersalah tetap dia pegang,” ujar Budi Sulistyono, Wakil Ketua Bidang Kehormatan DPD PDIP Jatim, Senin (6/10/2025).
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) mencatat kekayaan Hasanuddin per Juni 2024 sebesar Rp5,4 miliar setelah dikurangi utang Rp1,2 miliar, terdiri dari lima bidang tanah dan bangunan senilai Rp4,48 miliar serta kendaraan dan aset lain sekitar Rp1,27 miliar.
Kini, Hasanuddin yang sempat dielu-elukan sebagai putra Pulau Bawean pertama di DPRD Jatim harus menghadapi tuduhan korupsi berjamaah. Gugatan praperadilan yang dia ajukan menjadi langkah terakhir untuk membantah sahnya penetapan tersangka oleh KPK.
Kasus ini sekaligus membuka kembali potret gelap penyalahgunaan dana hibah di Jawa Timur, di mana anggaran ratusan miliar rupiah yang seharusnya untuk pemberdayaan masyarakat justru mengalir ke jaringan politikus dan korlap.