SUARAMALANG.COM, Jakarta – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengkritik keras tata kelola program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah pusat di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menyebut guru menjadi pihak yang paling dirugikan sekaligus dijadikan tumbal dalam pelaksanaan program tersebut.
Dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi IX DPR RI pada Senin (22/9/2025), Ubaid mengungkap bahwa guru dipaksa mengurus distribusi makanan MBG tanpa pelibatan yang jelas maupun insentif yang layak.
“Guru jadi budak, tumbal, racun MBG. Guru tidak dilibatkan sama sekali. Tiba-tiba kedatangan menu makanan yang banyak, lalu guru disuruh menghitung dan mendistribusikan. Kalau ada yang hilang, guru yang disuruh ganti. Tidak ada insentif apapun dari MBG maupun BGN,” tegas Ubaid.
Menurut Ubaid, beban ini semakin berat karena para guru tidak dibekali pedoman kerja yang jelas, namun tetap diminta menanggung risiko penuh.
Ketika terjadi kasus keracunan massal, pihak sekolah bahkan diminta bertanggung jawab, sementara pemerintah dan pelaksana program justru lepas tangan.
“Kalau ada keracunan di beberapa sekolah, itu MOU dengan SPPG, yang tanggung jawab adalah sekolah. Bahkan kemarin juga viral, di madrasah banyak kasus, tapi tanggung jawab dilimpahkan ke orang tua,” ungkapnya.
JPPI mencatat, kasus keracunan makanan MBG terbaru terjadi di sejumlah daerah secara bersamaan pada Rabu (17/9/2025) dan Kamis (18/9/2025).
Di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, sebanyak 251 pelajar dari SD, SMP, dan SMA dilarikan ke RS Trikora Salakan setelah mengalami mual, pusing, dan sakit kepala usai menyantap menu MBG.
Kejadian serupa terjadi di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, dengan 90 siswa dari MTsN dan SMAN yang mengalami gejala keracunan.
Di Kota Tual, Maluku, belasan siswa SD Negeri 19 juga harus menjalani perawatan medis di RS Maren.
Sementara itu, di Kabupaten Garut, Jawa Barat, 194 pelajar dilaporkan terdampak, dengan 19 di antaranya dirawat intensif di Puskesmas Kadungora.
JPPI menilai, rentetan kasus keracunan ini menunjukkan adanya kegagalan sistemik dalam tata kelola MBG oleh Badan Gizi Nasional (BGN), lembaga pelaksana yang berada langsung di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Ubaid menegaskan, masalah ini bukan sekadar persoalan teknis di lapangan, melainkan bukti lemahnya sistem pengawasan dan pertanggungjawaban dari tingkat pusat hingga daerah.
Selain guru dan sekolah, orang tua juga menjadi korban karena tidak memiliki posisi kuat untuk menuntut tanggung jawab atas kejadian yang membahayakan kesehatan anak mereka.
JPPI menyoroti MOU antara sekolah dengan SPPG (Satuan Pengelola Program Gizi) yang dinilai merugikan pihak sekolah dan orang tua.
Dalam MOU tersebut, beban tanggung jawab saat terjadi insiden keracunan dibebankan kepada pihak sekolah, bahkan orang tua, tanpa mekanisme pertanggungjawaban yang jelas dari pemerintah.
Kondisi ini dinilai melanggar Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 54 yang menjamin hak anak atas perlindungan dari perlakuan salah dan Pasal 76C yang melarang siapapun menempatkan anak dalam situasi yang membahayakan kesehatan dan tumbuh kembangnya.
Ubaid juga memperingatkan potensi pelanggaran Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum yang merugikan pihak lain.
Jika tidak segera ditangani, guru dan sekolah dapat terjebak dalam sengketa hukum karena dijadikan pihak yang bertanggung jawab penuh atas kerugian yang mereka sendiri tidak kuasai.
JPPI meminta Komisi IX DPR untuk meneruskan rekomendasi mereka kepada Presiden Prabowo, termasuk desakan agar program MBG dihentikan sementara sampai ada evaluasi total terhadap sistem dan tata kelola BGN.
Menurut Ubaid, evaluasi ini harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari mekanisme distribusi makanan, standar pengawasan dapur, hingga keterlibatan guru dan sekolah yang selama ini hanya menjadi pelaksana tanpa dilibatkan dalam perencanaan.
“Kalau masalah ini tidak segera ditangani, guru akan terus jadi korban, sekolah jadi pihak yang disalahkan, dan anak-anak kita yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban dari program yang seharusnya menyehatkan,” pungkas Ubaid.
Dengan terus bertambahnya korban keracunan di berbagai daerah, JPPI menegaskan bahwa keselamatan anak dan keadilan bagi guru harus menjadi prioritas di atas ambisi politik maupun target program pemerintah.
Pewarta : M.Nan