Kontroversi Pensiun Seumur Hidup DPR Digugat ke MK: Antara Hak Istimewa dan Beban APBN

SUARAMALANG.COM, Jakarta — Gugatan konstitusional terhadap tunjangan pensiun anggota DPR mencuat ke ruang publik setelah dua warga, psikolog senior dr. Lita Linggayani Gading dan pengacara konstitusional Syamsul Jahidin, resmi mendaftarkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara tersebut teregister dengan nomor 176/PUU-XXIII/2025.

Keduanya menilai pemberian pensiun seumur hidup bagi anggota DPR, meski hanya menjabat selama satu periode atau lima tahun, merupakan bentuk privilese yang membebani keuangan negara dan mencederai prinsip keadilan sosial.

“Rakyat bekerja 10 hingga 35 tahun baru berhak pensiun, sementara anggota dewan hanya lima tahun langsung seumur hidup. Ini tidak adil,” tegas Lita Gading dalam keterangannya.

Isi Gugatan

Pemohon mempersoalkan Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf f, dan Pasal 12 UU Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administrasi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tinggi Negara. Mereka menilai aturan itu memberikan legitimasi bagi anggota DPR untuk menerima pensiun layaknya lembaga tinggi negara lain, meski syaratnya jauh lebih ringan.

Dalam petitumnya, pemohon meminta MK untuk:

  1. Menyatakan DPR tidak termasuk dalam kategori Lembaga Tinggi Negara sebagaimana dimaksud UU 12/1980.
  2. Menghapus ketentuan pasal yang memungkinkan anggota DPR berhak atas pensiun seumur hidup.
  3. Menegaskan bahwa hak pensiun hanya berlaku untuk pimpinan lembaga tinggi negara lain seperti Mahkamah Agung, BPK, atau DPA.

Jika dikabulkan, keputusan MK berpotensi menghapus hak pensiun seumur hidup DPR yang telah berjalan selama lebih dari empat dekade.

Fakta Angka dan Beban APBN

Berdasarkan hitungan pemohon, sejak UU tersebut berlaku pada 1980, terdapat sekitar 5.175 mantan anggota DPR yang menjadi penerima pensiun. Dengan rata-rata besaran sekitar 60 persen dari gaji pokok, ditambah tunjangan hari tua Rp15 juta sekali bayar, total beban APBN diperkirakan mencapai Rp226,01 miliar.

Skema pensiun DPR saat ini diatur melalui Surat Menteri Keuangan No. S-520/MK.02/2016 dan Surat Edaran Setjen DPR No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010. Ketentuan tersebut memungkinkan pensiun diteruskan kepada pasangan apabila anggota DPR meninggal dunia, meski dalam jumlah yang lebih kecil.

Suara Pemohon

Bagi pemohon, persoalan utama bukan sekadar angka, melainkan asas keadilan.
“Bahwa dengan manfaat pensiun yang diterima DPR RI maka sangat membebani APBN. Kerugian nyata timbul karena pajak rakyat dipakai untuk membiayai hak istimewa yang tidak tepat,” ujar Syamsul Jahidin, yang kini juga aktif sebagai dosen hukum dan managing partner di ANF Law Firm.

Lita Gading menambahkan, sistem ini mencerminkan ketidakadilan struktural. “Keadilan sosial dimulai dari pemahaman hak dan kewajiban yang adil. Jangan sampai rakyat dipaksa menanggung fasilitas mewah elite politik,” katanya.

Respons DPR

Ketua DPR RI Puan Maharani menanggapi gugatan tersebut dengan menekankan bahwa aspirasi publik sah untuk disuarakan, namun tetap harus tunduk pada aturan hukum.
“Kita hargai aspirasi, tapi semuanya ada aturannya. Aturan pensiun ini berlaku menyeluruh, bukan hanya untuk DPR. Jadi kita lihat dulu regulasinya,” ujar Puan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (2/10/2025).

Puan menegaskan, pembahasan terkait hak pensiun tidak bisa hanya diarahkan kepada satu lembaga, karena payung hukum yang berlaku bersifat lintas institusi.

Konteks Politik

Isu tunjangan pensiun DPR mencuat di tengah kekecewaan publik terhadap kenaikan tunjangan rumah DPR dari Rp3,75 juta menjadi Rp50 juta per bulan yang memicu gelombang protes pada Agustus 2025. Demonstrasi mahasiswa dan kelompok sipil yang awalnya menolak revisi UU Minerba dan RUU Keamanan Digital, berubah menjadi aksi menolak privilese pejabat legislatif.

Gugatan Lita dan Syamsul dinilai sebagai bentuk perlawanan hukum warga terhadap praktik yang dianggap tidak sejalan dengan asas keadilan sosial dalam UUD 1945.

Kini, bola panas berada di tangan Mahkamah Konstitusi: apakah akan tetap mempertahankan hak pensiun seumur hidup DPR, atau menandai babak baru pembatasan privilese politikus di Indonesia.

Pewarta : M.Nan

Exit mobile version