Lonjakan Kasus Bullying di Sekolah: 26 Anak Tewas, KPAI Ingatkan Darurat Nasional

SUARAMALANG.COM, Jakarta – Lonjakan kasus perundungan atau bullying di Indonesia memasuki fase yang mengkhawatirkan dan memunculkan gelombang kecemasan baru di tengah masyarakat.

KPAI mencatat sebanyak 1.052 kasus pelanggaran hak anak terjadi sepanjang tahun 2025 dan membuat isu kekerasan terhadap anak kembali menyita perhatian publik.

Dari jumlah tersebut, 16 persen atau 165 kasus justru berlangsung di lingkungan sekolah yang selama ini diyakini sebagai ruang aman bagi anak.

Berikut data faktual perkembangan kasus bunuh diri anak dan remaja berdasarkan catatan KPAI dan Into The Light Indonesia:

  • Tahun 2025 (hingga November): KPAI mencatat 26 kasus anak mengakhiri hidup, dan tujuh di antaranya diduga karena perundungan.

  • Tahun 2024: KPAI mencatat 43 kasus bunuh diri anak.

  • Tahun 2023: KPAI mencatat 46 kasus bunuh diri anak.

  • Tahun 2024 (data tambahan): Into The Light Indonesia melaporkan 826 kasus bunuh diri terjadi di Indonesia, dan mayoritas didominasi oleh pelajar/remaja.

Temuan ini memunculkan ironi besar karena sekolah seharusnya menjadi tempat di mana anak-anak terlindungi, bukan menjadi lokasi terjadinya kekerasan berulang.

Komisioner KPAI Aris Adi Leksono menegaskan bahwa eskalasi kasus ini tidak bisa dipandang sebagai insiden semata karena telah menimbulkan korban jiwa.

Menurut catatan KPAI, sebanyak 26 anak memilih mengakhiri hidup mereka akibat perundungan yang menekan kondisi mental secara terus-menerus.

Aris menyebut bahwa fenomena bunuh diri ini juga terjadi di satuan pendidikan secara signifikan dan menunjukkan bahwa sekolah kini mengandung risiko yang tidak terduga bagi keselamatan anak.

“Sepertiga (kasus bunuh diri) terjadi di satuan pendidikan,” kata Aris dalam rapat koordinasi melalui zoom meeting, Senin (17/11/2025).

Dalam dua bulan terakhir, enam peristiwa yang menewaskan anak kembali memicu diskusi publik mengenai lemahnya deteksi dini terhadap korban perundungan.

Kondisi ini diperparah oleh kemunculan kasus ekstrem seperti ledakan bom di SMAN 72 Jakarta Utara yang dilakukan oleh anak berhadapan dengan hukum.

Rangkaian peristiwa ini menunjukkan bahwa kekerasan di kalangan remaja kini tidak hanya berbentuk fisik atau psikologis, tetapi juga mulai memasuki ranah ekstrem yang sebelumnya tidak terbayangkan.

KPAI melihat bahwa akar persoalan perundungan semakin multidimensional dan berakar dari interaksi sosial anak yang mengarah pada kekerasan berulang.

Aris menyampaikan bahwa anak-anak yang memilih mengakhiri hidupnya menunjukkan betapa dalam luka mental yang mereka alami dan betapa terbatasnya intervensi yang diterima sebelum situasi memburuk.

Ia menjelaskan bahwa tekanan sosial, kondisi psikologis yang tidak terpantau, hingga kurangnya ruang aman bagi anak untuk mengadu menjadi faktor yang memperburuk kondisi tersebut.

Aris juga memberi perhatian besar pada kecepatan eskalasi kasus perundungan di lingkungan sekolah yang menggambarkan bahwa sistem perlindungan di satuan pendidikan belum berjalan optimal.

Fenomena ini membuat publik kembali mempertanyakan efektivitas mekanisme pelaporan, pendampingan konseling, dan langkah pencegahan yang selama ini digadang-gadang menjadi tameng bagi anak-anak sekolah.

KPAI menyebut bahwa banyak kasus tidak terdeteksi sejak awal dan mitigasi baru dilakukan ketika peristiwa sudah mencapai titik fatal.

Kondisi ini semakin menguatkan urgensi untuk membangun sistem deteksi dini, lingkungan sekolah yang responsif, serta pola intervensi berkala yang dapat mencegah anak terjerumus ke dalam lingkaran perundungan.

Narasi ini menjadi gerbang awal untuk melihat bagaimana faktor lain seperti literasi digital, pengaruh ruang maya, serta dinamika sosial remaja mendorong kasus perundungan ke tingkat yang lebih buruk.

Exit mobile version