Opini  

Perempuan, Tenda Pengungsian, Dan Akses Air Yang Jarang Tersentuh

Oleh: Dr. Fidela Dzatadini Wahyudi, S.Sosio, M.Sos
Dosen Prodi Ilmu Hukum Universitas Cipta Wacana Malang

Di tenda-tenda pengungsian Aceh dan Sumatera Utara, air bersih bukan lagi kebutuhan sehari-hari yang tersedia, tetapi sebuah perjuangan yang menguras tenaga, waktu, dan harapan — terutama bagi perempuan yang harus menjaga keluarga di tengah krisis yang tak berujung. Banjir besar Desember 2025 tidak hanya merusak rumah dan infrastruktur, tetapi juga mengganggu pasokan air bersih bagi lebih dari 510.528 pengungsi di tiga provinsi terdampak. Korban jiwa tercatat mencapai lebih dari 1.016 orang, dan ratusan ribu lainnya menghadapi kesulitan hidup di pengungsian dengan fasilitas terbatas. Di balik statistik itu, perempuan memikul beban ganda, menjaga kebersihan, merawat anak, dan memastikan kebutuhan dasar keluarga tetap terpenuhi.

AIR BERSIH DAN BEBAN GANDA PEREMPUAN

Krisis air bersih di pengungsian bukan sekadar persoalan kenyamanan. Banyak sumur rusak atau tercemar akibat banjir, sementara distribusi air bersih belum sepenuhnya menjangkau semua lokasi pengungsian. Di banyak posko, warga harus antre berjam-jam untuk mendapatkan beberapa liter air yang cukup untuk mandi, memasak, dan minum. Laporan Gender Alert No.1: Critical Gender and Protection Needs in the Sumatra Emergency (Desember 2025) menekankan bahwa keterbatasan air berdampak signifikan pada kehidupan perempuan: kesehatan reproduksi, perawatan bayi, dan kebersihan diri menjadi tantangan besar.

Setiap pagi, perempuan harus menyiapkan peralatan untuk antre air. Beberapa terpaksa membawa anak kecil sambil mengisi ember, menavigasi jalan berlumpur di antara tenda-tenda padat. Banyak yang harus bergiliran mandi di fasilitas terbatas, sementara air kadang hanya cukup untuk setengah kebutuhan keluarga. Pilihan sulit ini bukan sekadar soal kenyamanan, tetapi menyangkut kesehatan: infeksi kulit, diare, dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) menjadi ancaman nyata bagi anak-anak dan orang tua.

Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa perempuan harus menyeimbangkan kebutuhan air untuk memasak, membersihkan pakaian, dan mandi keluarga dengan jumlah air yang terbatas. Kesalahan kecil, seperti menunda cuci pakaian atau menurunkan jumlah air untuk mandi, bisa berdampak besar pada kesehatan anak-anak. Rutinitas ini menguras fisik dan emosi, sementara tanggung jawab sosial terhadap keluarga tetap harus melekat dan tidak bisa mereka abaikan.

SANITASI, RUANG AMAN, DAN RISIKO KEKERASAN

Krisis air bersih juga memperburuk masalah sanitasi. Tenda-tenda padat dan fasilitas terbatas membuat ruang privat sulit diperoleh, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Banyak pengungsi harus berbagi toilet darurat dengan lusinan orang lain, sementara akses pencahayaan dan sekat minim, meningkatkan risiko kekerasan berbasis gender. Beberapa posko ramah perempuan dibangun untuk memberikan perlindungan dan ruang aman, namun jangkauannya masih terbatas.

Laporan Gender Alert menekankan bahwa pengalaman perempuan berbeda jauh dari laki-laki di pengungsian. Dengan jumlah pengungsi lebih dari setengah juta orang, tanggap darurat harus menyertakan perspektif gender sejak awal: distribusi air bersih, fasilitas mandi, ruang aman, hingga pemantauan kesehatan dan psikososial. Tanpa pendekatan ini, perempuan menanggung beban ganda yang berdampak panjang pada kesehatan, kesejahteraan, dan martabat mereka.

Selain risiko fisik, kondisi ini memengaruhi psikologis perempuan. Ketidakpastian pasokan air dan minimnya privasi menciptakan stres kronis. Beberapa perempuan melaporkan kesulitan tidur, rasa lelah yang terus menerus, dan perasaan tidak berdaya di tengah tugas rumah tangga yang tidak berhenti.

KRISIS AIR BERSIH SEBAGAI CERMIN KETIMPANGAN SOSIAL

Perjuangan perempuan di pengungsian Aceh dan Sumatera Utara adalah gambaran nyata bagaimana bencana alam dapat memperbesar ketimpangan sosial. Setiap hari mereka harus memilih: menjaga kebersihan diri atau menghemat air agar cukup untuk memasak dan minum yang digunakan bersama keluarga. Dalam tenda-tenda yang padat dan bising, seringkali harus memilih tanpa memprioritaskan kebutuhan diri sendiri sebagai seorang individu.

Data BNPB dan laporan Gender Alert

menegaskan bahwa akses air bersih yang tidak merata berdampak langsung pada kesehatan fisik dan mental perempuan. Krisis ini juga menyoroti kelemahan sistem tanggap darurat: distribusi bantuan sering tidak memperhitungkan kebutuhan spesifik perempuan, sehingga risiko kesehatan, kekerasan berbasis gender, dan tekanan psikologis meningkat.

Kondisi ini mengingatkan bahwa air bersih bukan sekadar logistik, tetapi hak dasar yang berdampak pada kesejahteraan dan ketahanan komunitas. Solusi jangka panjang harus menyertakan perspektif gender: fasilitas mandi terpisah, distribusi air yang adil, dan ruang aman untuk perempuan dan anak-anak.

Di balik tenda-tenda yang padat dan antrean air yang panjang, perempuan menanggung beban yang jarang terlihat— menjaga anak, menyiapkan kebutuhan sehari-hari, dan mempertahankan kebersihan keluarga. Perjuangan mereka adalah cermin ketahanan yang sering tak diakui, sekaligus panggilan bagi kita semua untuk memastikan bahwa hak dasar seperti air bersih, sanitasi, dan ruang aman tidak lagi terabaikan di tengah bencana. Banjir Aceh dan sebagian wilayah Sumatera bagian utara mengingatkan kita bahwa setiap kebijakan tanggap darurat harus menyertakan perspektif gender agar ketahanan komunitas pascabencana menjadi nyata, adil, dan berkelanjutan.

*) Penulis : Dr. Fidela Dzatadini Wahyudi, S.Sosio, M.Sos, Dosen Prodi Ilmu Hukum Universitas Cipta Wacana Malang

*) Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis

Exit mobile version