Pungutan Liar itu (sering) berlabel sumbangan tapi tanpa suka juga abai rela.

Oleh : Wiwid Tuhu P, SH., MH.
Advokat pada ASMOJODIPATI LAWYER’S
Aktif pada beberapa lembaga sosiohumaniora di Malang

Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya – Pramoedya Ananta Toer-
dalam tulisannya yang berjudul “Nama Aku Tidak Pernah Kotor”

Publik tentu kecewa disuguhi berita media massa perihal Hakim yang ditangkap karena gratifikasi setelah memutuskan bebas pelaku pembunuhan, demikian juga gerah tahu ada Hakim yang memutus ringan perkara korupsi dengan kerugian sampai 300 triliun, tapi menghukum berat pencurian kelas ringan, demikian pasti kesal dengan berita anggota polisi yang terlibat perdagangan narkoba, pemerasan, berbisnis ilegal dll, termasuk juga suap dan korupsi yang dilakukan aparatur sipil negara, padahal sebenarnya mereka yang disebut oknum oleh lembaga tempatnya bernaung, sudah pasti semuanya merupakan produk Pendidikan yang sudah formal, dengan kurikulum yang dinilai memenuhi standart membentuk karakter berbudaya nasional.

Ironis memang jika ternyata pendidikan saat ini belum mampu menjadi tolok ukur pembentukan moral siswa, sehingga pendidikan karakter masih menjadi tantangan mendesak untuk melahirkan generasi cerdas sekaligus bermoral, tapi masih saja mengemuka pandangan yang menempatkan mata pelajaran sains sebagai prioritas utama, sementara pendidikan karakter dan budi pekerti kurang mendapat perhatian. Hingga akibatnya, banyak anak yang secara akademis cerdas justru kehilangan pegangan moral dan terjebak dalam perilaku negatif seperti penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, kekerasan antar pelajar, hingga tindak korupsi kolusi dan nepotisme ketika sudah tumbuh dewasa dan memiliki kewenangan atau kekuasaan tertentu.

Tapi memang mau bagaimana lagi, sejalan dengan pemikiran Pramudya Ananta Toer dalam “Nama Aku Tidak Pernah Kotor” yang menjadi kalimat pembuka tulisan ini, bisa jadi problem mula yang perlu diselesaikan adalah bagaimana system Pendidikan mampu untuk kembali menghadirkan sosok guru yang teguh dengan hati nuraninya yang bisa di “gugu lan di tiru” (patut didengarkan pesan kebajikannya dan menjadi teladan), atau dengan kata lain bukan guru yang hanya bersifat mencari kerja sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan akan lebih mengerikan bilamana menjadi guru tapi memiliki sifat tamak tak segan berlaku curang hanya untuk memburu kenikmatan-kenikmatan duniawi.

Pendidikan atau dalam hal ini Pendidikan dasar sejatinya merupakan salah satu tanggung jawab utama pemerintah, terutama di tingkat daerah, yang mencakup pemerintah kabupaten atau kota, dan Tanggung jawab ini sangat penting karena pendidikan dasar berfungsi sebagai pijakan awal dalam membangun kapasitas manusia, baik dalam hal moral maupun literasi.

Sebagai dasar penguatan sumber daya manusia, pendidikan ini memainkan peran penting dalam membentuk karakter dan kemampuan awal anak-anak sebagai bagian dari generasi penerus bangsa. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah secara tegas mengatur pembagian kewenangan dalam penyelenggaraan pendidikan di tingkat daerah. Undang-undang tersebut menetapkan bahwa tanggung jawab pendidikan dasar prioritasnya berada di bawah kewenangan pemerintah kabupaten atau kota. Dengan demikian, pemerintah daerah berkewajiban memastikan terpenuhinya semua kebutuhan pendidikan dasar, termasuk penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, guru-guru yang profesional, serta kebijakan yang adil dan tidak diskriminatif terhadap para peserta didik.

Kendati aturan ini telah dirumuskan dengan jelas dalam perundang-undangan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaannya masih jauh dari ideal. Keluhan masyarakat kerap muncul terkait dengan beban biaya yang dikenakan kepada peserta didik maupun wali murid dalam berbagai bentuk pungutan. Pungutan tersebut sering kali tidak didasarkan pada ketentuan hukum yang sah, tetapi dikemas sedemikian rupa dengan istilah “sumbangan.” Padahal, praktik ini sifatnya tidak sepenuhnya sukarela, mengingat besaran biaya dan batas waktu pembayarannya telah ditentukan secara sepihak. Alasan yang kerap digunakan oleh pihak sekolah adalah telah terjadi kesepakatan untuk membantu penyelenggaraan pendidikan, seperti menyediakan fasilitas sekolah atau menggaji tenaga pendidik profesional. Namun, sesungguhnya semua kebutuhan tersebut seharusnya sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, terutama mengingat adanya alokasi anggaran sebesar 20% dari total anggaran pemerintah yang secara khusus dialokasikan untuk sektor pendidikan.

Yang lebih memprihatinkan, praktik pungutan semacam ini sering kali dilakukan dengan cara-cara yang menyebabkan diskriminasi terhadap peserta didik. Anak-anak atau wali murid yang tidak mampu membayar sering kali mengalami tekanan psikologis dan sosial yang membuat mereka merasa rendah diri atau tidak berdaya. Dalam situasi seperti itu, mereka sering merasa takut untuk menolak atau menyampaikan keberatan, karena khawatir akan menjadi sasaran diskriminasi lebih lanjut, seperti dikucilkan oleh pihak sekolah atau bahkan menjadi korban perundungan. Keadaan ini tentu sangat merugikan, karena tidak hanya menghambat akses mereka terhadap pendidikan yang layak, tetapi juga mengganggu perkembangan mental dan emosional anak-anak dalam masa pertumbuhan mereka.

Kondisi ini sudah darurat sehingga memerlukan suatu pengawasan yang ekstra ketat dan komitmen yang lebih serius dari pemerintah untuk memastikan bahwa pendidikan dasar benar-benar terlaksana sesuai dengan tanggung jawab dan amanat undang-undang, dan jangan sampai pungutan-pungutan liar (apapun jenis labelnya) yang dinilai masih dalam nominal kecil layak untuk dimaklumi, sebab bilamana kejadiannya ada didunia Pendidikan dasar, terlebih ada didepan muka anak-anak calon generasi masa depan, maka akan terpatri dalam otak dan benaknya bahwa pungutan liar itu adalah hal lumrah, apalagi dikenali sebagai bagian untuk mendapatkan berkah/atau wujud terimakasih sudah mendapatkan pengajaran, sebab jika itu terjadi maka dimasa mendatang anak-anak tersebut akan tumpul nalar kritis melawan tabiat bandit maupun jahat, masih relative baik jika sekedar menjadi egois pun juga apatis, sebab bukan tidak mungkin akan pula mewarisi perilaku koruptif dengan tanpa ada rasa bersalah.

Oleh sebab itu, demi menjamin tidak ada pembelajaran perilaku koruptif kepada anak-anak peserta didik, kaidah-kaidah hukum yang sudah ada setidak-tidaknya harus diefektifkan pemberlakuannya, dalam hal ini termasuk tapi tidak terbatas
UU RI No.20 Tahun 2003 khususnya Pasal 34 yang isinya :
(1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. (3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah
bunyi Pasal 10 ayat (2) “Penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan.”
Hal mana ditegaskan dalam Permendikbud ini, bahwa Komite Sekolah harus membuat proposal yang diketahui oleh Sekolah sebelum melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya/ dari masyarakat, dan Hasil penggalangan dana tersebut dapat digunakan antara lain:
a. Menutupi kekurangan biaya satuan pendidikan;
b.Pembiayaan program/kegiatan terkait peningkatan mutu sekolah yang tidak dianggarkan;
c. Pengembangan sarana/prasarana; dan
d. Pembiayaan kegiatan operasional Komite Sekolah dilakukan secara wajar dan dapat dipertanggung jawabkan.

Sementara penggunanaan hasil penggalangan dana oleh Sekolah harus:
a. Mendapat persetujuan dari Komite Sekolah;
b. Dipertanggungjawabkan secara transparan; dan
c. Dilaporkan kepada Komite Sekolah.

PP 48 Th 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan
PP No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas PP No. 48 Tahun 2008 mengenai Pendanaan Pendidikan. Dengan perubahan berfokus pada aspek pengelolaan dana pendidikan, termasuk prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana pendidikan, Khususnya Pasal 197 dan Psl 181 a-c-d perubahan PP 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan
Permendikbud No.75 Tahun 2016
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Uundang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, penjelasan pasal 13 ayat (1) huruf b Undang-undang Perlindungan Anak disebutkan bahwa “perlakuan ekploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan”. Frasa memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak akan cukup relevan dengan perkara melakukan pemungutan kapada peserta didik untuk tujuan menguntungkan diri pribadi atau golongan secara ekonomi.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) : Pasal 421 (Penyalahgunaan Jabatan) : Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
Jadi dalam hal ini, unsur kesengajaan mensiasati celah peraturan perundang-undangan untuk kepentingan tertentu yang bertentangan dengan hokum dan atau kealpaan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap ragam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya negara menjamin terselenggaranya Pendidikan dasar yang kompeten, harus dicarikan formulasi solusinya, dengan tidak lagi terjadi :

1. Permintaan uang dibuat oleh komite sekolah, sehingga seolah-olah sekolah secara kelembagaan seperti tidak mengetahui adanya permintaan sebagaimana dimaksud.
2. Permintaan pembayaran seolah-olah dibuat berdasarkan kesepakatan yang mengikat, meskipun terdapat suatu cipta kondisi untuk menekan peserta didik/walinya untuk hanya harus setuju.
3. Permintaan pembayaran seoalah-olah dibuat secara sukarela, akantetapi besaran nilai pembayaran dan jangka waktu pembayaran ditentukan.
4. Tidak terdapat transparansi perencanaan dan penggunaan anggaran yang diambil melalui nomenklatur sumbangan/infak/sedekah dll, dengan tidak adanya persebaran dokumen tertulis untuk bisa dijadikan bukti.
5. Mendudukkan peserta didik/walinya untuk harus berpartisipasi memberikan sumbangan, bilamana ingin memiliki prestasi, dengan pernyataan Lembaga sekolah selalu saja kekurangan tenaga pendidik berkwalitas, kekurangan sarana dan prasarana, tanpa menunjukkan pos-pos pengeluaran mana saja yang sudah dipenuhi oleh anggaran Pendidikan 20% milik pemerintah.
6. Pembayaran pungutan dijadikan suatu persyaratan tertentu yang seolah-olah wajib, seperti misalnya syarat mengambil rapor/ ijazah, mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, mengikuti lomba dll.
7. Komite sekolah seringkali tidak memiliki komposisi sebagaimana ketentuan Pasal 4 Permendikbud No.75 tahun 2016, dengan dipimpin tidak sebagaimana amanat Pasal 6 (4) Permendikbud No.75 tahun 2016, dan lalai untuk memenuhi ketentuan Pasal 13 Permendikbud No.75 tahun 2016, sehingga menjadi gagal memberikan pertimbangan kepada sekolah, dan untuk mengawasi pelayanan sekolah serta menindak lanjuti keluhan/saran/aspirasi peserta didik/wali murid, serta untuk berupaya kreatif dan inovatif, atau pada pokoknya gagal memenuhi ketentuan Pasal 3 Permendikbud No.75 tahun 2016.

Exit mobile version