SUARAMALANG.COM, Jakarta – Setelah gelombang kasus perundungan yang menewaskan puluhan anak, perhatian publik kini mengarah pada faktor lain yang mempercepat eskalasi kekerasan, yaitu literasi digital yang lemah di kalangan remaja.
KPAI menilai perkembangan ruang digital yang tidak diimbangi dengan edukasi membuat anak semakin mudah terekspos pada konten berbahaya, termasuk kekerasan ekstrem yang berdampak pada tindakan fatal.
Komisioner KPAI Aris Adi Leksono menyampaikan bahwa gadget dapat membahayakan anak jika tidak dibarengi kemampuan memahami risiko di dalamnya.
“Dalam prinsip perlindungan anak, ada prinsip apa yang disebut dengan kepentingan terbaik buat anak, jika gadget tanpa literasi yang kuat, malah membawa kemudaratan, maka sebenarnya mengancam kepentingan terbaik buat anak,” ucap Aris.
Pernyataan ini muncul setelah pembahasan mengenai kasus ekstrem ledakan bom di SMAN 72 Jakarta Utara, di mana pelaku mengaku belajar dari deepweb, mengikuti instruksi internet, dan tergabung dengan komunitas pecinta kekerasan.
Rangkaian peristiwa tersebut menunjukkan bahwa ruang digital bukan sekadar sarana hiburan bagi anak, tetapi telah menjadi ruang yang memengaruhi perilaku dan pilihan hidup mereka.
Namun, pendapat berbeda disampaikan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kemkomdigi, Alexander Sabar, yang menolak mengambinghitamkan internet sebagai penyebab utama meningkatnya bullying.
Alexander menyebut bahwa banyak hal positif bisa diperoleh anak dari ruang digital, mulai dari pengetahuan baru hingga peluang prestasi seperti atlet e-sport.
Ia juga menegaskan pentingnya memfokuskan perhatian pada pemahaman literasi digital dan membekali anak dengan kemampuan memilah informasi secara benar.
“Masalah literasi digital balik lagi ke situ permasalahannya adalah bagaimana memberikan pemahaman terkait dengan ruang digital kita ini,” kata Alexander.
Menurutnya, peran orangtua menjadi krusial dalam dinamika ini karena pendampingan saat anak beraktivitas di dunia maya tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada sekolah atau pemerintah.
Alexander menegaskan bahwa orangtua tidak boleh berhenti belajar dan harus memahami dunia digital yang diakses anak-anak setiap hari.
Senada dengan itu, Ketua LPAI Seto Mulyadi atau Kak Seto juga menyebut bahwa internet adalah alat yang sifatnya netral.
Ia menilai bahwa internet mampu menghadirkan banyak manfaat, termasuk kemampuan bahasa asing hingga kreativitas anak melalui konten edukatif di platform digital.
“Misalnya seorang pandai menguasai bahasa asing itu juga (belajar dari) sosial media,” ujarnya.
Kak Seto menegaskan bahwa dampak internet bergantung pada literasi digital yang dimiliki anak sehingga mereka mampu membedakan konten bermanfaat dari konten berbahaya.
“Sehingga anak bisa membedakan Misalnya mana yang positif, mana yang negatif,” katanya.
Pandangan ini menggambarkan bahwa masalah yang dihadapi Indonesia bukan sekadar konten digital yang mengandung kekerasan, tetapi minimnya edukasi yang membuat anak rentan terpengaruh secara negatif.
Persoalan ini menjadi pembuka jalan bagi upaya lebih sistematis dalam penguatan perlindungan di tingkat sekolah, termasuk peran satgas yang selama ini belum berjalan optimal.
