SUARAMALANG.COM, Kota Malang – Nama Muhammad Zuhdy Achmadi sudah lebih dulu mencuat di Kabupaten Malang, sebelum kasus tragis terbunuhnya Salim Kancil di Lumajang pada (26/9/2015). Pria yang akrab disapa Didik ini, dikenal lantang menentang praktik penambangan pasir di Kasembon yang merusak lingkungan.
Penolakannya membuat Didik berhadapan dengan banyak pihak. Ia diancam, dibujuk dengan “jalan damai” berupa uang maupun hadiah, namun semua tawaran itu ditolaknya. “Saya tidak bisa dibeli,” tegasnya kala itu. Sejak dipercaya memimpin Lumbung Informasi Rakyat (LIRa) Kabupaten Malang pada (27/1/2008), Didik semakin aktif melakukan investigasi, bahkan kerap mengajak wartawan melihat langsung dampak penambangan pasir.
Dari Wartawan ke Aktivis
Keberanian Didik tak lepas dari latar belakangnya sebagai wartawan Tabloid Hukum dan Kriminal milik Divisi Humas Mabes Polri. Pada 2003–2008, ia dipercaya sebagai koordinator wilayah Jawa Timur. Jaringan luasnya dengan aparat penegak hukum menjadi modal kuat dalam membongkar berbagai pelanggaran.
Namun kiprahnya tidak berhenti pada isu tambang. Bersama LIRa, Didik juga menyoroti praktik korupsi di Kabupaten Malang. Sejumlah kasus berhasil ia ungkap, mulai dari penyelewengan dana BOS, DAK, hingga mark-up proyek APBD dan penjualan aset desa. Setidaknya 17 pejabat koruptor, dari kepala sekolah hingga pejabat Pemkab Malang, berhasil masuk penjara berkat investigasi Didik dan timnya.
“LIRa hadir untuk membela masyarakat kecil tanpa pamrih,” ujarnya. Kiprah itu membuat LIRa mendapat simpati luas, terutama karena sering memberi advokasi gratis bagi warga yang tanahnya diserobot atau hak-haknya dirampas.
Jalan Hidup Berliku
Lahir pada 20 Juni 1964, perjalanan hidup Didik penuh warna. Usai lulus SMA 58 Jakarta, ia sempat mendaftar Akabri pada 1983, namun gagal karena sakit liver. Kekecewaan membawanya ke dunia balap liar di Jakarta, hingga dikenal dengan nama jalanan “Didik Sakerah”. Setelah banyak temannya tewas di arena balap, ia meninggalkan dunia itu dan melanjutkan kuliah di Bandung, meski kemudian gagal lulus karena bekerja sebagai PNS di Departemen Perindustrian.
Pekerjaan sebagai PNS hanya bertahan dua tahun. Didik keluar karena tak tahan dengan praktik mark-up dan laporan fiktif yang diminta atasannya. Pada 1992, ia kembali ke Malang, bekerja di perusahaan farmasi, menjadi wartawan, lalu membuka usaha mebel. Usaha itu berkembang pesat, hingga mampu memasok pesanan ke BUMN.
Meski usaha berjalan lancar, hatinya terpanggil untuk mengabdi pada masyarakat. Berawal dari kedekatannya dengan Presiden LIRa, Jusuf Rizal, Didik akhirnya terjun menjadi aktivis. Tak jarang, ia harus menjual aset pribadinya demi membela masyarakat kecil.
Pendekar di Kampung Halaman
Di lingkungan rumahnya di Lowokwaru, Kota Malang, Didik juga aktif. Pada tahun 2000, ketika menjabat ketua RT, ia mendirikan Padepokan Tapak Songo untuk menyalurkan energi anak-anak nakal di sekitarnya. Bekal ilmu silat yang ia miliki dari masa mudanya di Bandung ia manfaatkan untuk membina generasi muda agar tidak terjerumus dalam tawuran.
Meski sering mendapat tawaran partai politik, Didik memilih tetap di jalur aktivis. “Saya belum pantas masuk politik,” katanya. Baginya, perjuangan yang jujur dan tanpa tendensi lebih penting daripada kursi kekuasaan.
Kini, nama Didik tercatat sebagai salah satu sosok penting di Malang yang konsisten melawan tambang liar, menentang korupsi, sekaligus membela masyarakat kecil. Sebuah jalan panjang seorang “pendekar” yang tak pernah lelah memperjuangkan keadilan.
Pewarta: *Slamet K