SUARAMALANG.COM, Surabaya – Fenomena penggunaan sound horeg di Jawa Timur kembali menjadi sorotan setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur resmi mengeluarkan fatwa haram terhadap aktivitas tersebut.
Fatwa tersebut dikeluarkan sebagai respons terhadap maraknya keresahan warga terkait penyalahgunaan sound horeg yang dianggap tidak mencerminkan nilai kesusilaan dan kerap memicu gangguan sosial.
Isu ini pun menuai perhatian serius dari legislatif Jawa Timur.
Puguh Wiji Pamungkas, anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, menyatakan bahwa negara harus segera hadir melalui kebijakan yang tegas agar polemik ini tidak terus menimbulkan keresahan di masyarakat.
“Sound horeg ini seringkali diiringi dengan tarian laki-laki dan perempuan yang jauh dari norma kesopanan. Apalagi jika dilakukan di jalanan umum yang mudah diakses anak-anak, tentu ini sangat mengganggu ketertiban,” ujar Puguh di Surabaya.
Ia juga menegaskan bahwa kebebasan berekspresi tetap harus dibatasi oleh norma dan aturan yang berlaku di tengah masyarakat.
“Kalau sudah sampai merusak fasilitas publik, mempertontonkan gerakan erotis di ruang terbuka, atau memicu keributan, maka sangat wajar jika MUI menetapkan hukumnya haram. Ini sejalan dengan keresahan masyarakat,” tegasnya.
Puguh menambahkan, dalam konteks budaya Jawa Timur, musik dan hiburan memang sudah menjadi tradisi dalam berbagai hajatan seperti pernikahan atau sunatan.
Namun, perbedaan antara hiburan tradisional dengan sound horeg yang berpotensi menyalahi etika harus diatur jelas oleh pemerintah.
“Jangan sampai pelaku usaha sound system kehilangan penghidupan mereka, tetapi juga tidak bisa dibiarkan jika justru meresahkan publik. Dibutuhkan peraturan yang dirumuskan bersama melalui musyawarah berbagai pihak,” imbuhnya.
Sayangnya, hingga saat ini aparat kepolisian belum memiliki landasan hukum yang kuat untuk menindak praktik sound horeg yang melanggar batas.
Ketiadaan aturan spesifik membuat aparat sulit bergerak meskipun keresahan warga terus meningkat.
Di sisi lain, PWNU Jawa Timur melalui Tim-9 turut mendorong pemerintah provinsi untuk segera menerbitkan regulasi dalam bentuk Peraturan Gubernur (Pergub) guna memberikan batasan yang jelas terkait sound horeg.
KH Balya Firjaun Barlaman, Wakil Ketua PWNU Jatim sekaligus anggota Tim-9, menyatakan bahwa pengharaman sound horeg secara agama sangat bergantung pada adanya dampak buruk di masyarakat.
“Hukum itu bisa haram atau mubah, tergantung dampaknya. Kalau sudah meresahkan dan membawa mudharat, maka harus diatur. Karena itu regulasi menjadi penting,” ungkapnya.
Ia menyoroti bahwa dalam banyak kasus, tingkat kebisingan sound horeg melampaui ambang batas yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), yaitu 135 desibel.
“Kalau sudah melewati batas itu, bisa membahayakan kesehatan, mulai dari bayi hingga lansia dengan penyakit jantung. Maka wajar jika disebut haram,” jelas Gus Firjaun.
KH Ma’ruf Khozin, Ketua Satgas Aswaja Center sekaligus anggota Tim-9 PWNU Jatim, menambahkan bahwa penentuan hukum mubah atau haram terkait sound horeg seharusnya berpijak pada ada tidaknya pelanggaran terhadap regulasi yang berlaku.
Selama ada aturan yang ditegakkan, aktivitas tersebut bisa saja tetap dibolehkan dalam koridor yang sehat.
KH Ma’ruf juga mengkritisi perubahan tren sound horeg yang kini justru digelar keliling kampung menggunakan mobil pick up dan truk, berbeda dengan dulu yang hanya dilakukan di lapangan terbuka.
Langkah preventif semakin urgen, sehingga PWNU Jatim bersama Tim-9 telah aktif menjalin koordinasi dengan Polda Jatim untuk mempercepat proses penyusunan Pergub sebagai dasar hukum pengaturan sound horeg.
Berikut susunan lengkap Tim-9 PWNU Jatim yang mengawal isu ini:
Ketua: KH Abd Matin Djawahir
Sekretaris: KH Azhar Shofwan
Anggota: Prof. Ali Maschan Moesa, KH Azaim, KH Ma’ruf Khozin, KH Balya Firjaun, KH Adib Sholahuddin Anwar, KH Wafiyul Ahdi, dan Dr. Hardadi Erlangga.
Usulan Regulasi Penggunaan Sound Horeg
Berikut sejumlah poin yang diusulkan terkait regulasi sound horeg di Jawa Timur:
Batas Kebisingan: Suara tidak boleh melebihi 135 desibel sesuai dengan ketentuan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
Lokasi Kegiatan: Hanya diizinkan di ruang terbuka seperti lapangan, bukan di area pemukiman.
Izin Penyelenggaraan: Harus memperoleh izin resmi dari kepolisian dan pemerintah daerah.
Larangan Konten: Tidak diperbolehkan menampilkan pertunjukan dengan unsur erotis yang dapat merusak moral publik.
Batas Operasional: Dibatasi pada jam-jam tertentu agar tidak mengganggu waktu istirahat warga.
Sanksi Tegas: Pelanggar dapat dikenakan sanksi administratif hingga pidana sesuai peraturan daerah yang berlaku.
Dengan adanya regulasi yang jelas, diharapkan sound horeg tetap bisa menjadi bagian dari ekspresi budaya masyarakat namun tetap dalam koridor norma dan hukum yang berlaku.
“Kita semua hidup berdampingan. Jangan sampai ekspresi kebudayaan justru menjadi pemicu konflik. Pemerintah perlu hadir sebagai fasilitator untuk mencari solusi terbaik,” pungkas Puguh Wiji Pamungkas.
Pewarta : M.Nur