SUARAMALANG.COM, Jakarta – Proyek family office yang diusulkan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mendapat penolakan dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk dibiayai menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Penolakan itu membuka perdebatan baru mengenai arah kebijakan pengelolaan investasi di era Presiden Prabowo Subianto.
Konsep family office atau Wealth Management Consulting (WMC) merupakan lembaga manajemen kekayaan yang melayani individu atau keluarga dengan aset sangat tinggi.
Skema ini memungkinkan investor kakap global menanamkan modalnya di Indonesia tanpa terkena pajak, dengan tujuan menarik arus investasi asing langsung ke sektor riil.
Berdasarkan penelusuran, proyek ini sudah digagas sejak tahun 2024, saat Luhut masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi di era Presiden ke-7 Joko Widodo.
Dalam rencana DEN, family office akan dibangun di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pusat Keuangan dan Family Office di Bali.
Fasilitas tersebut diproyeksikan menjadi gerbang utama dana investasi asing yang akan dikelola untuk berbagai proyek ekonomi nasional.
Proyek ini sempat dijadwalkan mulai beroperasi pada Februari 2025, namun pelaksanaannya masih tertunda di tahap persiapan administratif dan regulasi.
Luhut memastikan bahwa proyek family office tetap dilanjutkan di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, dengan target bisa beroperasi dalam tahun 2025.
Namun, arah pembiayaan proyek tersebut menuai penolakan dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Purbaya menegaskan bahwa ia tidak terlibat dalam perencanaan maupun pendanaan family office yang diusulkan DEN.
“Nggak, saya nggak terlibat. Kalau mau saya doain lah. Saya belum terlalu ngerti konsepnya walaupun Pak Ketua DEN sering bicara. Saya belum pernah lihat apa sih konsepnya, jadi saya nggak bisa jawab,” ujar Purbaya.
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa Kementerian Keuangan tidak menyediakan anggaran APBN untuk proyek tersebut dan menilai inisiatif itu merupakan kebijakan mandiri dari DEN.
Sejumlah pengamat ekonomi menilai, jika proyek family office berjalan tanpa mekanisme fiskal yang jelas, potensi ketimpangan pajak dan moral hazard dapat muncul, terutama dalam konteks transparansi sumber dana dan manfaat bagi publik.
Sementara itu, hingga saat ini DEN belum mengumumkan rincian regulasi, nilai investasi, serta pihak-pihak yang akan berpartisipasi dalam proyek family office di Bali.
Polemik ini menandai ketegangan pertama antara kebijakan fiskal Kementerian Keuangan dengan agenda strategis DEN di bawah kepemimpinan Luhut.
Publik kini menunggu kejelasan sikap pemerintah terhadap arah pembentukan family office di tengah tekanan efisiensi fiskal dan tuntutan transparansi pengelolaan investasi negara.