SUARAMALANG.COM, Kabupaten Malang – Di balik gelombang kerinduan Aremania terhadap logo “Singa Bertindik”, berdiri sebuah tembok hukum yang tegas dan tak terelakkan.
Pusat Data Kekayaan Intelektual (PDKI) Kementerian Hukum dan HAM mencatat status penolakan yang jelas untuk permohonan merek tersebut.
Dokumen bernomor permohonan DID2024138004, yang diajukan oleh PT. AREMA INDONESIA pada 28 Desember 2024, secara resmi berstatus “(TM) Ditolak”.
Permohonan untuk merek “AREMA 11 AGUSTUS 1987” beserta gambar tersebut dipublikasikan pada 6 Januari 2025 dan tidak mendapatkan perlindungan hukum.
Penolakan negara ini menjadi fakta krusial yang memicu dinamika publik lebih lanjut terkait nasib logo ikonik itu.
Meski demikian, jalan buntu di sisi pendaftaran merek bukan satu-satunya kendala hukum yang dihadapi.
General Manager Arema FC, Yusrinal Fitriandi, secara gamblang menjelaskan peta kewenangan yang sebenarnya.
“Kewenangan menyerahkan atau mengizinkan penggunaan logo itu ada pada mereka (pemegang hak cipta), bukan pada klub,” tegas Yusrinal.
Pihak yang dimaksud adalah Yayasan Arema, yang secara legal masih tercatat sebagai pemilik sah hak cipta atas logo “Singa Bertindik” tersebut.
Posisi manajemen klub, menurut Yusrinal, adalah sebagai pihak yang hanya bisa menunggu keputusan dari pemegang hak.
“Kami sifatnya menunggu ‘lampu hijau’ legalitas tersebut,” paparnya lebih lanjut.
Fakta ini melahirkan paradoks hukum yang unik sekaligus pelik.
Koordinator Presidium Aremania, Ali Rifki, mengakui bahwa secara formal, klub sebenarnya memiliki ruang untuk bertindak.
“Secara hukum, Arema FC menurutnya sah-sah saja memakai logo lawas tersebut,” ujar Ali Rifki, merujuk pada analisis yuridis yang dilakukannya.
Namun, kata kunci yang kemudian muncul bukanlah “ilegal”, melainkan “etikanya”.
“‘Hanya’ terkendala etika,” imbuh Ali Rifki, merinci hambatan sesungguhnya.
Kekosongan legitimasi dari pemilik sah hak cipta, yaitu Yayasan Arema, menciptakan risiko reputasi yang sangat besar bagi klub.
“Nantinya Arema FC akan dianggap sebagai ‘maling logo’ atau ‘perampok logo’ kalau belum ada legitimasi dari Yayasan Arema yang memiliki logo tersebut,” jelas Ali Rifki lebih rinci.
Kondisi ini diperparah dengan status yayasan itu sendiri, yang oleh Ali Rifki disebutkan sudah dalam keadaan vakum, dengan pengurus seperti Darjoto Setiawan dan Muhammad Nur yang tidak aktif.
Akibatnya, simbol yang sangat dirindukan itu terjebak dalam status quo hukum: bukan milik klub yang menggunakannya, dan dikendalikan oleh entitas yang tidak lagi beroperasi.
Inilah inti dari kompleksitas yang melilit “Singa Bertindik”, di mana norma hukum formal dan norma etika komunitas berbenturan.
Arema FC, di bawah tekanan untuk patuh hukum, memilih posisi yang sangat hati-hati.
Yusrinal Fitriandi menegaskan komitmen klub untuk tidak melangkah di luar koridor legalitas yang ada.
“Manajemen memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan contoh kepatuhan hukum. Kita tidak ingin membangun kebesaran Arema tanpa menghormati hak pihak lain,” tuturnya.
Oleh karena itu, solusi apa pun harus dimulai dari pembebasan hak secara sukarela dan sah dari Yayasan Arema.
Tanpa itu, logo historis itu akan tetap menjadi simbol yang terperangkap di antara dua dunia: kenangan masa lalu dan kekakuan hukum masa kini.
