Opini  

Quo Vadis Guru Berhadapan dengan Hukum (Tantangan menjaga adab, disiplin, budaya, moral, etika, wawasan dan menghindari jadi contoh kesewenang-wenangan)

Oleh : Wiwid Tuhu P, SH., MH.
Advokat pada ASMOJODIPATI LAWYER’S
Pengurus LIRA Jatim dan aktif pada beberapa lembaga sosiohumaniora di Malang

Suaramalang.com – Artikel ini ditulis oleh Wiwid Tuhu Prasetyanto, S.H., M.H.,
Advokat pada Asmojodipati Lawyer’s, dan pengurus DPW LIRA Jatim, yang juga aktif di beberapa lembaga sosiohumaniora serta tergabung dalam Advokat Peduli Guru (APG) 0 rupiah.
Memuat ide tentang tantangan menjaga adab, disiplin, budaya, moral, etika serta wawasan, dan menghindari menjadi contoh kesewenang-wenangan.

“Barangsiapa mengajar, maka sejatinya ia belajar sambil mengajar, dan barangsiapa belajar, maka sejatinya ia mengajar sambil belajar” – ungkapan yang disampaikan oleh Paulo Freire seorang tokoh teoritikus Pendidikan dunia dalam Pedagogi Kebebasan

Dinamika dalam pengajaran, ternyata masih saja ada permasalahan yang dihadapi guru dalam proses mendidik, dengan masih sering muncul konflik bahkan dengan murid sendiri, yang kemudian berujung pada proses hukum, entah apakah sejatinya benar terdapat tindakan yang pantas dikenai pidana (mengingat pidana bersifat ultimum remidium atau pilihan terakhir bilamana tidak ada upaya resolosi lainnya) atau hanya ulah oknum tertentu yang mencari keuntungan pribadi, fenomena semacam ini berulangkali terus terjadi, meski beberapa kasus menjadi viral dan menarik perhatian publik, tapi banyak lainnya berlalu begitu saja tanpa sorotan masyarakat, hanya menjadi klesak-klesik riak kecil yang tak sampai menjadi issue penting.
Catat saja bagaimana perkara yang mendudukkan guru Supriyani, guru di SD Negeri 4 Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang harus berhadapan dengan hukum, juga ada Masse, seorang guru SD Negeri 27 Doule di Kecamatan Rumbia, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, dan Zaharman, seorang guru SMAN 7 di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, selanjutnya Rufian, guru agama di SMP Diponegoro, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang, dan terbaru pada saat srtikel ini ditulis yakni Moh. Subhan Zunaidi, guru MI Miftakhul Huda kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang Jawa Timur, dan entah apakah akan diperpanjang atau tidak daftar guru yang berhadapan dengan hukum kala menjalankan tugas merawat Pendidikan.
Memang harus diakui, tidak mudah untuk mengendalikan beragam jenis warna batin peserta didik untuk disiplin mempelajari adab, budaya, moral, etika, wawasan pengetahuan, terlebih dilakukan secara kolektif, sebab kwalitas kesadaran akan arti penting pendidikan seringkali tidak seragam, sehingga dapat muncul ekses (hal yang bersifat melampaui batas) sebab gagal mengendalikan diri dalam proses mendesakkan kesadaran sebagaimana dimaksud.
Kiranya tepat kalimat pembuka yang disitir dari catatan Paulo Freire seorang tokoh teoritikus Pendidikan dunia dalam Pedagogi Kebebasan tersebut diatas, karena dalam hal ini kata “mengendalikan” merupakan kunci, sebab sosok guru yang diharap bisa menjadi tauladan dan yang mampu membangkitkan kesadaran, terlebih dahulu harus juga belajar untuk memiliki kemampuan pengendalian, baik pada diri sendiri selanjutnya mengendalikan berbagai karakter peserta didik untuk memiliki kesadaran akan pentingnya adab, disiplin, budaya, moral, etika, wawasan pengetahuan, sebab jika gagal salah satunya, maka pengajaran akan berjalan tidak optimal sebab terlalu keras bisa mematahkan, mengabaikan bisa menjadikan liar, apalagi hanya mementingkan pencitraan, formalitas dan hal-hal klise hingga tercermin perilaku permisif pada hal yang masuk kategori kolusi, korupsi dan nepotisme, akan mencetak generasi koruptif dimasa depan, tidak perduli dengan nilai kecuali hanya pencitraan.
Pendidikan sebagai pondasi penting dalam pembangunan bangsa, maka tidak ada satupun hal yang terjadi yang tidak memiliki dampak berkelanjutan, termasuk gesekan pada saat proses pengajaran yang sampai dibawa ke ranah hukum, tentu juga memiliki dampak negative yang secara jangka Panjang pasti berpengaruh pada kwalitas generasi masa depan, sebab bilamana terdapat rasa terancam yang dialami oleh guru menjadi massif, sudah pasti semangat mengajar guru akan menurun, sebab dengan guru merasa terancam serta takut untuk menerapkan disiplin yang tegas, ragu untuk mengambil langkah-langkah yang mungkin penting bagi perkembangan siswa meskipun hal itu diperlukan, maka peserta didik akan kehilangan kesempatan belajar tentang esensi Pendidikan secara kompleks, yang berarti tidak hanya berkaitan dengan wawasan pengetahuan, akantetapi berkaitan pula dengan adab, disiplin, budaya, moral, serta etika.
Oleh sebab itu meski kurang optimal, sudah cukup tepat kiranya diberikan jaminan-jaminan tertentu secara hukum terhadap guru didalam menjalankan profesinya, karenanya perlu untuk dipahami oleh semua pihak termasuk para aparat penegak hukum, bahwa setidak-tidaknya sudah ada Peraturan pemerintah yang melindungi guru dalam melaksanakan tugasnya, yakni termasuk tapi tidak terbatas PP No. 74 tahun 2008, yang mana aturan hukum paling menonjol adalah pada :
Pasal 39
ayat 1.
“Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.”
ayat 2 disebutkan, sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 40.
“Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing.”

Rasa aman dan jaminan keselamatan tersebut diperoleh guru melalui perlindungan hukum, profesi dan keselamatan dan kesehatan kerja.

Pasal 41.
“Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.”

Juga terdapat jurisprodensi Putusan MA Nomor 1554 K/PID/2013 tentang perkara pidana atas nama Aop Saopudin, dengan pokok perkara guru di Majalengka yang dilaporkan ke polisi karena memberikan hukuman cukur rambut kepada empat muridnya yang berambut gondrong, hal mana keputusan ini mengesampingkan ketentuan Pasal 77 huruf a yang isinya bahwa ”Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril, sehingga menghambat fungsi sosialnya…” dan Pasal 80 ayat 1 yang menyatakan bahwa ”Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta.” Dan juga ketentuan Pasal 335 Ayat 1 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan, dengan pertimbangan pokok “Apa yang dilakukan terdakwa adalah sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana dan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan berdisiplin”.

Akantetapi meski sudah terdapat peraturan yang sekiranya dapat digunakan oleh guru untuk melindungi diri, termasuk juga terdapat Nota kesepahaman antara Kapolri dengan PGRI sebagaimana terdata dengan nomor PGRI 606/Um/PB/XXII/2022 dan Polri NK/26/VIII/2022 yang mana point penting pada pokoknya memberikan dasar “perlindungan dan penegakan hukum profesi guru” dijelaskan pada Pasal 4 Ayat 1 dan 2 bahwa antara PGRI dan Polri akan bekerja sama melindungi profesi guru, pendidik, dan tenaga kependidikan dari tindakan kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari masyarakat, sampai dengan bilamana terjadi perkara hokum, maka proses penegakan hukum akan diberlakukan sebagaimana Pasal 5 Ayat 1, 2, dan 3 dengan aturan pada pokoknya disebutkan:
“apabila PGRI atau Polri menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat adanya dugaan tindak pidana oleh guru, kedua belah pihak akan berkoordinasi dalam rangka penyelidikan. Apabila hasil penyelidikan pidana tidak terbukti, penanganan diserahkan kepada Dewan Kehormatan Guru (DKG), dan apabila terbukti pidana, kepolisian akan melakukan penanganan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Meski begitu, pada kenyataannya dilapangan masih saja terjadi mispersepsi mengenai penerapan hukum yang tepat didalam perkara-perkara berkaitan dengan guru dalam menjalankan tugas profesinya, sehingga dengan menyimak fakta-fakta tersebut, kiranya perlu adanya aturan yang lebih tegas yang menjadi panduan untuk suatu penyamaan persepsi antara aparat penegak hukum dengan Lembaga profesi guru, perihal apakah didalam suatu peristiwa yang melibatkan guru didalam menjalankan profesinya, terdapat unsur pidana/pelanggaran hukum, atau hanya semata terjadi gesekan yang masih dalam koridor menjalankan fungsi guru yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.
Jadi dalam hal ini, keadaannya adalah seperti halnya penanganan perkara pidana yang melibatkan oknum dari suatu profesi tertentu seperti pada profesi Dokter, Advokat, Notaris, wartawan yang memerlukan ijin/kordinasi dengan Lembaga profesi yang bersangkutan bahkan hanya soal pemanggilan pemeriksaan, maka semestinya terkait dengan Guru yang berhadapan dengan hukum, juga diberlakukan hal yang sama, dan harapannya akan terdapat kesamaan paradigma antara penegak hukum dengan Lembaga profesi yang bersangkutan (Guru), perihal apakah peristiwa yang terjadi sejatinya masih dalam koridor melaksanakan fungsi profesinya, ataukah sudah melampaui batas selanjutnya layak untuk diproses secara hukum.

Exit mobile version