Iklan

FSGI Tegas Tolak Dana APBN untuk Bangun Ulang Ponpes Al Khoziny

Iklan

SUARAMALANG.COM, Jakarta – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyatakan penolakannya terhadap rencana pemerintah menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membangun ulang Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur.

Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti menilai keputusan tersebut tidak adil bagi keluarga korban tragedi ambruknya musala ponpes yang menewaskan puluhan santri.

Iklan

Ia menegaskan bahwa sebelum pembangunan dilakukan, pemerintah seharusnya menuntaskan investigasi secara menyeluruh untuk mengetahui penyebab pasti insiden tersebut.

“Jangan langsung dibangun, dengan biaya APBN pula. Apalagi insiden tersebut telah menewaskan 67 santri yang masih usia anak. Bahkan butuh beberapa hari bagi tim SAR untuk mengevakuasi korban dari reruntuhan musala itu,” kata Retno dalam keterangan tertulis, Jumat (10/10/2025).

Retno juga menilai, keputusan membangun ulang ponpes tanpa mendengar suara keluarga korban justru dapat menambah luka dan duka yang belum sepenuhnya pulih.

Menurutnya, pemerintah harus terlebih dahulu memulihkan kepercayaan publik melalui langkah investigasi terbuka dan transparan sebelum memutuskan pembangunan fisik.

Sementara itu, pihak kepolisian masih terus menyelidiki dugaan kelalaian dalam insiden ambruknya bangunan musala Ponpes Al Khoziny tersebut.

Hingga kini, belasan saksi telah dimintai keterangan dengan menggunakan Pasal 359 dan 360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian dan luka-luka.

Selain itu, penyelidikan juga dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung untuk memastikan apakah struktur bangunan musala sesuai dengan standar teknis dan keselamatan.

Ketua Umum FSGI, Fahmi Hatib menyoroti dugaan keterlibatan santri dalam proses pembangunan musala. Ia menyebut hal tersebut berpotensi sebagai bentuk eksploitasi anak.

“Pelibatan santri dalam pembangunan musala Ponpes Al Khoziny dapat diduga kuat melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak. Para santri belajar di ponpes untuk menimba ilmu, bukan untuk menjadi kuli bangunan,” tegas Fahmi.

FSGI menilai sedikitnya ada tiga pihak yang perlu dimintai pertanggungjawaban apabila terbukti lalai, yakni pengurus ponpes, kontraktor, dan pemerintah melalui Kementerian Agama.

Menurut FSGI, pengurus ponpes harus bertanggung jawab karena tetap menggunakan bangunan yang sedang dalam proses konstruksi.

Kontraktor wajib diperiksa untuk memastikan apakah pekerjaan dilakukan sesuai dengan prosedur dan standar keamanan yang berlaku.

Sedangkan Kementerian Agama dianggap gagal melakukan fungsi pengawasan terhadap kelayakan bangunan pendidikan berbasis pesantren.

Lebih lanjut, FSGI menegaskan pemerintah seharusnya memprioritaskan pemulihan para korban, terutama santri yang kini mengalami disabilitas akibat tragedi tersebut.

“FSGI mendesak agar pemerintah memikirkan masa depan anak-anak yang selamat namun menjadi disabilitas karena kehilangan anggota tubuh akibat musibah ini,” lanjut Fahmi.

Ia juga mengingatkan agar pemulihan psikologis para santri dan keluarga korban menjadi perhatian utama pemerintah pusat dan daerah.

FSGI berharap tragedi ambruknya musala Ponpes Al Khoziny menjadi pelajaran penting bagi semua lembaga pendidikan agar lebih mengutamakan keselamatan siswa di atas segala hal.

“Keselamatan anak-anak harus menjadi prioritas utama dalam penyelenggaraan pendidikan, bukan sekadar pembangunan fisik,” tegas FSGI.

Iklan
Iklan
Iklan