SUARAMALANG.COM, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menjawab pertanyaan publik terkait lamanya penetapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana hibah kelompok masyarakat (pokmas) di Jawa Timur.
Kasus ini mencuat sejak operasi tangkap tangan (OTT) Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simanjuntak pada Desember 2022, namun penetapan tersangka baru diumumkan secara resmi pada 2 Oktober 2025, atau hampir tiga tahun kemudian.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menegaskan bahwa lamanya waktu penyidikan tidak lepas dari kerumitan perkara.
Menurut Asep, skema penyaluran hibah pokmas di Jawa Timur melibatkan banyak pihak, mulai dari anggota legislatif, koordinator lapangan, hingga pengurus kelompok masyarakat. Setiap pihak memiliki peran berbeda dan aliran dana yang bercabang.
“Ini perkara yang cukup kompleks karena ada puluhan proposal, ratusan kelompok masyarakat, dan nilai dana hibah yang sangat besar. Kami harus memverifikasi secara rinci setiap aliran uang dan peran pihak-pihak yang terlibat,” kata Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
KPK menemukan fakta bahwa mantan Ketua DPRD Jatim Kusnadi diduga menerima commitment fee sebesar Rp32,2 miliar dari berbagai koordinator lapangan. Aliran dana ini ditampung melalui rekening istri, staf pribadi, serta sebagian diterima tunai.
Selain Kusnadi, ada 20 orang lain yang ditetapkan sebagai tersangka, terdiri dari anggota DPRD, wakil ketua DPRD, serta pihak swasta. Dari jumlah itu, empat tersangka pemberi suap sudah ditahan, sementara lainnya masih dalam proses hukum.
Asep menambahkan, penyidikan ini membutuhkan waktu panjang karena penyidik KPK harus melakukan penyitaan, memeriksa dokumen keuangan, hingga menelusuri aset di sejumlah daerah, termasuk Tuban dan Sidoarjo.
KPK juga melakukan koordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melacak transaksi mencurigakan. Aliran dana hibah ditengarai tidak hanya berhenti di tangan para koordinator lapangan, tetapi juga mengalir ke sejumlah pejabat politik.
Dalam kasus ini, KPK menilai hanya sekitar 40 persen dari total dana hibah yang benar-benar sampai ke masyarakat. Sisanya terkikis dalam bentuk fee untuk anggota DPRD, koordinator lapangan, dan pengurus pokmas.
“Dana yang seharusnya dipakai membangun fasilitas publik, jalan, atau infrastruktur desa justru dipangkas sejak awal. Akibatnya kualitas pembangunan rendah, banyak bangunan cepat rusak atau roboh,” jelas Asep.
KPK beralasan bahwa kehati-hatian dalam menetapkan tersangka sangat penting agar dakwaan di pengadilan tidak mudah dipatahkan. Kasus ini menyangkut dana besar, Rp398,7 miliar, dengan aliran yang berlapis, sehingga setiap detail harus diperkuat dengan bukti hukum.
Publik sempat mendesak agar penetapan tersangka dilakukan lebih cepat, terutama terhadap Kusnadi yang diduga menjadi aktor utama. Namun KPK menekankan bahwa proses hukum tidak bisa dipaksakan tanpa bukti kuat.
“Penetapan tersangka bukan sekadar menyebut nama, tapi harus ada dasar hukum yang kokoh agar tidak kalah di pengadilan,” ujar Asep.
Kasus dana hibah pokmas Jatim menjadi sorotan nasional karena melibatkan pimpinan DPRD sekaligus menyingkap praktik sistemik penyalahgunaan anggaran publik.
Meski penetapan tersangka memakan waktu lama, KPK berjanji tidak akan berhenti pada empat tersangka yang sudah ditahan. Semua pihak yang terbukti terlibat, baik pemberi maupun penerima, akan dibawa ke meja hijau.
Publik kini menunggu langkah KPK berikutnya: apakah penahanan terhadap Kusnadi dan tersangka penerima lain segera dilakukan, atau proses hukum masih akan berlarut.
Pewarta : M.Nan