SUARAMALANG.COM, Jakarta – Insiden pemitingan prajurit TNI oleh anggota Brimob Polda Sumatera Selatan saat demo ricuh di Palembang menjadi sorotan publik setelah video peristiwa tersebut viral di media sosial pada Jumat (5/9/2025).
Video yang beredar menunjukkan seorang prajurit TNI AD bernama Pratu Handika Novaldo dipiting oleh Brimob di sekitar area DPRD Sumatera Selatan, sementara kartu identitasnya terlihat jelas dalam rekaman yang memicu berbagai spekulasi dan framing negatif.
Kapuspen TNI Brigjen (Marinir) Freddy Adrianzah menegaskan bahwa Pratu Handika tidak pernah menjadi bagian dari aksi demonstrasi tersebut dan kebetulan sedang berada di lokasi hanya untuk membeli makanan dan mengisi bahan bakar motornya.
Menurut Freddy, “Pratu Handika sama sekali tidak terlibat aksi unjuk rasa maupun provokasi, melainkan sedang mencari makan dan mengisi BBM motor saat peristiwa terjadi di SPBU,” jelasnya dalam konferensi pers di Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (5/9/2025).
Ia menambahkan, “Ya, dengan agak dipiting gitu ya, jadi wajar kalau misalnya di-framing cepat sekali sebarannya,” ucap Freddy pada kesempatan yang sama.
Setelah dilakukan klarifikasi, Dansat Brimob Polda Sumsel menyampaikan permintaan maaf resmi kepada TNI atas kesalahpahaman dan tindakan yang dianggap berlebihan terhadap Pratu Handika.
Freddy menjelaskan bahwa Kapendam juga sudah menegaskan prajurit tersebut sama sekali tidak ikut unjuk rasa maupun provokasi, sehingga insiden ini telah diselesaikan secara internal antara TNI dan Polri.
Di tengah sorotan terhadap insiden di Sumsel, muncul pula isu lain di Jakarta terkait beredarnya foto Mayor SS, seorang anggota intelijen dari Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, yang terlihat bersama anggota Brimob di Mabes Polri.
Foto tersebut memicu narasi liar di media sosial yang menuduh TNI sebagai provokator dalam aksi unjuk rasa, padahal Mayor SS sedang menjalankan tugas resmi memantau situasi lapangan sesuai surat tugas.
Dijelaskannya pula, “Mayor SS sedang menjalankan tugas intelijen, bukan provokator seperti narasi yang beredar,” tegas Freddy.
Berdasarkan penjelasan TNI, Mayor SS sempat diamankan sementara oleh Brimob karena disangka pendemo saat demo ricuh di Jakarta, tetapi setelah menunjukkan dokumen resmi, ia dilepaskan dan pertemuan diakhiri dengan jabat tangan.
Polri membenarkan adanya kesalahpahaman di lapangan dan menyatakan situasi telah kondusif tanpa ada penangkapan atau proses hukum lebih lanjut terhadap Mayor SS.
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko menjelaskan, “Media massa adalah saluran utama informasi yang kredibel. Maka dari itu, apa yang disampaikan oleh Pak Kapuspen TNI ini menjadi bagian penting untuk memperbaiki informasi yang keliru,” ujarnya dalam konferensi pers bersama TNI, Jumat (5/9/2025).
Ia menegaskan lebih lanjut, “TNI dan Polri bekerja sama untuk memulihkan keamanan pasca unjuk rasa, sebagai bentuk negara hadir memberikan rasa aman,” kata Trunoyudo pada kesempatan yang sama.
Kemudian ia menyampaikan, “Terima kasih kepada Pak Kapuspen TNI atas undangan dalam kesempatan yang berbahagia ini,” tutupnya.
TNI juga menduga adanya pihak ketiga yang sengaja menyebarkan informasi bohong untuk memprovokasi benturan antara TNI dan Polri, dengan memanfaatkan video dan foto di media sosial untuk memperkeruh suasana politik nasional.
Menurut Freddy, “Informasi hoaks ini bertujuan untuk memecah soliditas TNI-Polri dan menciptakan kegaduhan politik,” ujarnya.
Dari perspektif hukum, keberadaan Mayor SS di lokasi demo adalah sah karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, BAIS memiliki kewenangan memantau situasi yang berpotensi mengancam keamanan negara.
Pratu Handika juga tidak melanggar hukum karena saat kejadian ia tidak bersenjata dan tidak terlibat dalam aksi, sesuai ketentuan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang menetapkan penanganan demo sepenuhnya menjadi kewenangan Polri.
Sementara itu, penyebaran berita bohong yang memicu konflik antar lembaga negara dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Ayat (3) UU ITE, yang menegaskan larangan menyebarkan informasi yang menimbulkan kegaduhan atau kebencian.
Kasus ini memperlihatkan betapa cepatnya hoaks dan framing negatif dapat menyebar di era digital, sehingga peran media massa sebagai sumber informasi yang kredibel sangat penting dalam menjaga stabilitas nasional dan soliditas antar lembaga negara.
Dengan klarifikasi bersama yang dilakukan TNI dan Polri, kedua institusi berupaya memulihkan kepercayaan publik sekaligus mengirimkan pesan bahwa soliditas mereka tetap kokoh dalam menjaga keamanan dan ketertiban nasional.
Pewarta : M.Nur